Membangun Kota Depok yang Berbudaya
Konon dahulu kala jalan margonda raya, sebagai etalase kota, memang tidak pantas menjadi wajah kota. Kemacetan sangat parah, bukan lagi terjadi pada jam-jam sibuk, tapi juga pada jam-jam biasa, hampir 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Para angkutan kota biasa menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, sebagaimana para penumpangnya juga biasa menyetop angkot dari berbagai lokasi yang mereka kehendaki. Mereka tidak peduli dengan halte yang sudah disediakan pemerintah untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Mereka juga tidak peduli dengan akibat yang ditimbulkan berupa antrian panjang kendaraan di belakang angkot yang dihentikannya. Prinsipnya, saya kerjakan apa yang saya ingin lakukan, bukan apa yang seharusnya saya lakukan. Daripada berjalan kaki menuju halte bis yang jaraknya 10-20 meter, yang akan membuat kaki pegal-pegal dan sakit linu, para penumpang lebih suka menghentikan angkot persis di hadapannya. Mereka yakin sopir angkot akan menghentikan kendaraannya sesuai dengan keinginan penumpang. Itulah mental dan budaya warga depok jaman dulu kala.
Jaman dahulu, etalase kota ini juga dipenuhi oleh pot-pot penghias jalan yang dibuat tanpa insting keindahan dan kerapihan. Pot-pot itu dibuat asal jadi, tanpa pernah dipikirkan nilai estetikanya. Pilihan warna yang diambil nampak tidak memiliki selera keindahan yang memadai. Selain itu, dengan keberadaan para pengemis dan anak jalanan yang semakin banyak, para pedagang kaki lima yang tidak pernah rela membiarkan setiap inci trotoar tanpa gelar dagangan, cermin wajah kota ini semakin semrawut dan amburadul. Jika hujan turun, kondisi jalan ini semakin ‘bopeng’, karena munculnya genangan air yang siap menerkam setiap kendaraan yang melaluinya. Sampah yang bertumpuk di pinggir jalan tanpa sungkan berebut untuk tumpah ke jalan yang berisi genangan air.
Itulah wajah depok jaman dahulu kala. Suatu jaman dimana mayoritas urusan di pemerintahan sering dijadikan lahan intrik politik oleh berbagai pihak. Jangan dulu berharap untuk bekerja profesional, bekerja minimal juga belum tentu mereka lakukan. Berbagai macam alasan dapat mereka berikan, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Intinya, semua itu berpangkal dari prasangka dan praduga buruk yang sudah dicap sejak awal. Prasangka buruk yang secara terus menerus dihembus-hembuskan oleh berbagai pihak yang tidak rela dan ikhlas dengan kondisi yang ada, yang senantiasa mencari celah dan perkara yang dapat dijadikan komoditas politik. Akibatnya, berbagai proses menuju penataan kota yang lebih baik seringkali dipolitisir, sehingga menghambat upaya-upaya perbaikan kondisi masyarakat.
Sekarang, tahun 2015. Kita sudah memiliki wajah kota depok yang berbudaya. Memasuki kota Depok melalui jalan margonda kita akan memasuki sebuah kawasan yang bersih, hijau, asri, indah dan nyaman. Taman yang terhampar membatasi dua lajur yang ada ditata dengan sangat cantik. Jalannya mulus dan lancar, pedestrian dan trotoar tertata rapih, tidak ada pengemis dan anak jalanan berkeliaran, toko-toko berjajar dengan indahnya tanpa ada pedagang kaki lima yang mengambil alih fungsi trotoar menjadi pasar. Tidak ada bunyi klakson bersahut-sahutan meneriaki mobil lain yang berhenti mendadak di depannya.
Budaya tertib sudah terbangun dengan baik. Angkutan kota mengantri dengan rapi di setiap halte pemberhentian. Mereka sudah lama meninggalkan kebiasaan berhenti di sembarang tempat untuk mengangkut penumpangnya. Para penumpang kendaraan umum juga sudah disiplin untuk naik dan turun dari halte yang disediakan. Tidak nampak aparat kepolisian di jalan untuk mengatur kondisi lalu lintas, karena memang ketertiban sudah menjadi budaya warga depok, sehingga tidak diperlukan lagi pengawasan dari aparat. Kesadaran warga untuk membuang sampah sudah terbangun. Kotak sampah terletak di sepanjang jalan margonda, untuk mencegah warga membuang sampah di sembarang tempat. Sehingga, meskipun hujan turun dengan deras, tidak ada genangan air yang tumpah ke jalan.
Problemnya, transisi dari depok jaman dulu menuju depok yang berbudaya tidaklah mudah. Pemerintahan kota Bogota saja membutuhkan waktu 10 tahun untuk merubah predikat dari kota miskin dan terbelakang menjadi kota yang berbudaya. Yang pertama dan utama harus dilakukan adalah membangun kecintaan dan kebanggaan warga ini terhadap kotanya. Jika perasaan cinta dan bangga sudah terbangun, rasa kepedulian untuk memecahkan semua masalah bersama-sama akan muncul. Semua persoalan akan dipikirkan bersama, dibahas bersama, dan dijadikan topik bersama untuk dicarikan solusinya. Kecintaan akan memunculkan perasaan senang jika dapat melibatkan diri dan berkontribusi dalam proses pembangunan. Memang tidak mudah untuk membangun kecintaan dan kebanggaan warga terhadap kotanya. Namun upaya dan kerja keras untuk mencapai perkara pertama dan utama ini harus terus menerus dilakukan dengan serius dan konsisten. Pemerintah tentunya menjadi pihak yang harus mengambil inisiatif pertama untuk memulainya. Allahu a’lam bishawab.
=Prihandoko=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar