Depok Memerlukan Sebuah Transformasi Sosial
Harian Republika, Ahad 2 Maret 2008 menyebutkan, dari data survey yang dilakukan oleh Global Youth Tobacco dari WHO pada tahun 2004 di Indonesia, sekitar 37,3% anak-anak usia 13-15 tahun sudah merokok. Survey dari lembaga yang sama pada tahun 2006, tiga dari 10 pelajar SMP di Indonesia (30,9%) mulai merokok sebelum usia 10 tahun.
Survey tersebut juga mencatat 215 miliar batang rokok dibakar dan dihisap setiap tahun di Indonesia. Konsumsi 215 milyar rokok per tahun, sama artinya dengan 589 juta batang rokok per hari. Jika satu batang rokok berharga 500 rupiah, berarti angka tersebut setara dengan 294,5 miliar rupiah per hari. Uang sebesar itu dibakar secara sia-sia setiap hari oleh rakyat bangsa ini. Bangsa yang masih terpuruk dengan berbagai problem sosialnya. Bangsa yang masih berkutat dengan antrian minyak tanah, antrian minyak goreng, dan berbagai antrian lain, yang menunjukkan bahwa bangsa ini masih terbelakang, karena belum mampu menuntaskan problem kebutuhan dasar rakyatnya. Fenomena ini sungguh sangat ironis. Seandainya dana itu digulirkan untuk membantu masyarakat miskin yang berjumlah 40 juta, tentu akan mampu menyelesaikan banyak hal.
Meskipun bagi sebagian orang merokok bukanlah perbuatan haram, tetapi tidak dapat dipungkiri, fakta menunjukkan bahwa rokok merupakan pintu gerbang yang paling efektif masuk ke dunia narkoba. Dari berbagai kasus pecandu narkoba yang muncul, sebagian besarnya diawali dengan kebiasaan merokok. Fakta buruk ini menggambarkan wajah buram bangsa ini di masa yang akan datang, kecuali jika kita berani melakukan upaya besar untuk mengubahnya.
Posisi kota Depok sebagai kota penyangga ibukota Jakarta, menjadi sangat rentan untuk disinggahi berbagai penyakit sosial dan kejahatan, termasuk narkoba. Dari data yang tercatat di Polres Depok, jumlah kejahatan di Depok tahun 2006 ada sekitar 3.500 kasus, tahun 2007 terjadi 4.000 kasus. Kasus yang menonjol adalah pencurian kendaraan bermotor sebanyak 1.100 kasus, pencurian dengan kekerasan atau pencurian malam hari sekitar 900 kasus, selanjutnya 300 kasus narkoba, 60 kasus pencurian dengan kekerasan (perampokan). Menurut data dari BNK (Badan Narkotika Kota) Depok, jumlah tersangka narkoba tahun 2006 terungkap 296 orang, sementara tahun 2007 meningkat 350 tersangka. Menurut harian Pikiran Rakyat, nilai transaksi narkoba di Depok tahun 2003 senilai 780 miliar.
Kita tidak bisa berdiam diri melihat kondisi buruk ini. Kita perlu melakukan transformasi sosial atau perubahan sosial terhadap kondisi masyarakat untuk menghadapi hari depan yang lebih baik. Menurut Dr. Ali al-Hamadi (dalam buku at-Taghyiir adz-Dzakiy), perubahan sosial itu setidaknya melewati empat tangga.
Pertama, adalah sosialisasi pengetahuan (knowledge, al-ma’rifah) tentang konsep perubahan yang akan dilakukan. Tahap ini diawali dengan menentukan konsep perubahan yang akan dilakukan. Konsep yang dibangun harus melibatkan berbagai pihak yang terkait, para pakar, alim ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan pihak-pihak lain yang memahami masalah ini dengan baik. Tahap berikutnya menyebarluaskan konsep itu ke tengah-tengah masyarakat, agar mereka memahami bahwa kita akan melakukan perubahan sosial dalam waktu dekat. Masyarakat perlu diberikan pemahaman dan pengertian secara baik dan menyeluruh agar tidak timbul resistensi terhadap rencana perubahan yang akan digulirkan.
Kedua, internalisasi sikap (attitude, al-tawajjuh) mengenai perilaku positif dan keberanian untuk melakukan perubahan. Pemahaman terhadap konsep perubahan saja tidak cukup. Ia harus diikuti dengan munculnya sikap dan tekad untuk melaksanakan perubahan itu. Motivasi untuk berubah harus dibangun. Semangat untuk maju harus dibangkitkan. Untuk ini diperlukan tokoh-tokoh ulama dan pendidikan untuk membangun kesadaran dan semangat untuk berubah.
Ketiga, implementasi tingkat individu (individual behavior, as-suluk al-fardiii) sebagai “bibit-bibit” aksi perubahan. Motivasi yang sudah terbangun harus dilanjutkan dengan tindakan pada tingkat individu/personal. Perubahan diri dan keluarga menjadi basis awal bagi perubahan pada tingkat yang lebih masif.
Keempat, yaitu penerapan secara kolektif (group behavior, as-suluk al-jama’i) untuk mewujudkan perubahan itu di tingkat masyarakat. Secara perlahan namun pasti, setiap individu yang berubah harus mempunyai semangat untuk menularkan perubahan itu kepada setiap individu lain di lingkungan sekitarnya, yang kemudian secara bertahap akan menularkan proses perubahan itu kepada orang lain.
Kunci sukses keberhasilan transformasi sosial ini terletak pada dua hal, yaitu komitmen dan konsistensi. Komitmen kuat untuk memulainya dan konsisten dalam menjalankannya. Kedua sikap ini harus diawali oleh para pimpinan pemerintahan dan lembaga-lembaga formal/informal pada seluruh jenjangnya. Selanjutnya, rakyat akan mengikuti dengan baik. Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar