*BERPIKIR VS MENGHAFAL*
Pada Selasa dua tahun yang lalu ada temanku, seorang guru, bertanya padaku :
“Na... kamu kan mendalami ilmu psikologi, critical thinking dan edukasi, kira-kira gimana cara menyiapkan generasi mendatang?”
Aku bertanya balik :
“Lha apa yang diperlukan oleh anak-anak di masa depan?”
“Menghafal ilmu pengetahuan? Buat apa menghafal? Google sudah ada, Wikipedia juga. Search engine lain juga bermunculan. Kalau mau tahu sesuatu, tinggal comot buku atau tinggal click internet. Ya kan?”
“Iya, apalagi ilmu pengetahuan juga terus berkembang. Banyak temuan baru, sehingga ilmu lama jadi obsolate sudah nggak berlaku lagi”, jawabnya.
“Nah itulah, kan?”
“Jadi bagaimana, masa anak-anak nggak perlu sekolah karena semua informasi dan ilmu sudah ada di internet?” dia menggaruk-garuk kepalanya.
Aku ketawa. Ingat nasibku sendiri.
“Ku kasih tahu ya, aku ini sebenernya kewalahan lho dengan arus informasi seperti sekarang. Rasanya seperti kena banjir bandang.”
“Kenapa seperti kena banjir bandang?”
“Bayangkan saja, setiap hari kita dikepung dengan berita. Aku harus TERUS-TERUSAN menganalisa data dan informasi. Lalu memilah-milahnya : mana yang benar dan mana yang hoax. Belum lagi mencermati mana tulisan yang satir. Beberapa kali aku upload berita dan foto hoax. Padahal sudah kupilih sumbernya. Masih saja kecolongan.”
“Lalu?”
“Ya artinya, masalah generasi mendatang bukanlah KEKURANGAN ILMU, tapi apakah MAMPU BERPIKIR untuk mengolah atau memproses semua informasi yang ada..”
Lalu aku meneruskan,
“Artinya, sekolah-sekolah harus MEROMBAK KURIKULUMNYA. Harus mulai mengajarkan THINKING SKILL ke anak didik untuk memproses banyaknya info dan pengetahuan tersebut.”
Aku lalu bercerita...
Beberapa tahun lalu, seorang ahli pendidikan dari Cambridge datang ke sekolah anakku. Bikin seminar singkat buat para orangtua murid.
Dia cuma mengajukan 3 pertanyaan yang bikin kami mikir jungkir-balik ketika itu :
1. Sambil mengacungkan HPnya ke atas, dia tanya, "Dua puluh tahun lalu adakah yang bisa membayangkan bahwa telepon akan seperti sekarang ini? Bisa memotret, mencatat resep, berkirim surat dan dokumen, berkirim foto? Bisa menampilkan peta dan rute jalanan, bahkan bisa merekam kegiatan fisik Anda sudah berjalan kaki sejauh berapa kilometer dan sudah membakar berapa kalori? Sebuah telepon yang bisa dipakai membuat presentasi dan mengirimkannya ke benua lain?"
Saat itu ruang auditorium bergemuruh dengan suara-suara orangtua saling diskusi.
Dulu telpon cuma bisa buat bicara saja ya? Dan bisa SMSan saja sudah berasa canggih..
Lalu profesor dari Cambridge itu bertanya lagi :
2. “Sekarang, bisakah kita membayangkan, alat ini akan bisa apa saja dalam 10 th atau 20th ke depan?”
Ruang auditorium jadi senyap...
Entah apa yang ada di kepala para orangtua tsb, tapi aku berpikir jangan-jangan, 20 tahun lagi alat telpon sudah bisa jadi moda transport ke dimensi lain.
Sang profesor bertanya lagi :
“Jika kita bahkan tidak bisa membayangkan 25 th lagi kemajuan akan seperti apa... lalu bagaimana kita sebagai orangtua dan guru, bisa memberikan BEKAL? Bekal yang mana yang harus diberikan?”
Aku merasa seperti ulu hatiku ditonjok dengan keras.
Benar sekali..
Membayangkan masa depan saja, kita tidak mampu, bagaimana bisa memberi bekal ke anak-anak untuk menghadapi masa depan?
Tiba tiba guru itu, berseru,
“ROMBAK ULANG SEMUA MATA PELAJARAN..”
Betul. Sejak itu, sekolah anakku merombak sistem belajarnya:
70% waktu dipakai untuk belajar berpikir.
30%nya untuk mendalami materi.
Sebuah mata pelajaran baru diciptakan, namanya :
1. INQUIRY LEARNING
Di pelajaran ini, anak-anak diajarkan :
—> CARA BERTANYA. Kenapa? Karena, dengan skill bertanya yang baik, seseorang akan mendapatkan banyak jawaban.
Ingat Najwa Shihab? Dia tidak akan banyak mendapatkan informasi kalau nggak pintar bertanya.
—> MENCARI JAWABAN SECARA MANDIRI. Berapa banyak orang yang punya gadget? Hampir semua orang punya. Mulai dari anak SD, ibu rumah tangga, tukang jual bakso, sampai direktur. Tapi berapa banyak yang mampu mencari jawaban lewat internet lalu memilah-milah mana informasi yang valid dan yang hoax?
—> THINKING SKILLS (kemampuan berpikir kritis dan konstruktif)
2.Pelajaran Matematika juga dirombak. Memakai metode baru dimana rumus tidak lagi harus baku, tapi guru memberikan kebebasan bagi murid untuk mencari jawaban dengan aneka cara, proses, dan jalan. Bahkan, guru matematika melarangku memasukkan anakku ke les matematika yang bersifat drilling. Kenapa..? Karena yang dituju saat ini adalah : terbangunnya LOGIKA MATEMATIKA pada anak didik. Bukan cepet-cepetan memberikan jawaban, hasil dari drilling. Well, akhirnya terbukti sih. Anakku pernah jadi juara dua lomba matematika seAsia Tenggara, padahal gak pernah ikut les apa-apa.
Lalu anak didik mulai diajak melakukan :
3. Experimental Science.
4. Riset dan presentasi.
5. Membaca 1 buku setiap hari.
Di sekolah anakku, kewajiban membaca ini 'dipaksakan' dari kelas 1 SD sampai kelas 4 SD. Tiap hari harus mengisi reading log/daftar bacaan yg sudah selesai dibaca, dan ortu harus ikut baca dan kasih tanda tangan.
Anak harus ditanya :
- apa yg kamu tangkap dari bacaan ini?
Besoknya anak disuruh cerita di depan kelas, tentang isi bacaannya.
Guru-guru dituntut untuk menyemaikan thinking skills, salah satunya dengan cara membiasakan diskusi 2 arah untuk membangun keterampilan berpikir.
Topik geografi dan sejarah, tetap diajarkan, tapi HANYA SEBAGAI MATERI BAHASAN (alias dipakai sebagai bahan diskusi) untuk mengembangkan KETERAMPILAN BERPIKIR yang tertuang di nomor 1, 3, dan 4 di atas.
Topik politik, agama, dinamika sosial juga dipakai (dengan cacatan : bukan sebagai bahan hafalan, tetapi latihan berpikir kritis dan mengembangkan nurani).
Praktik ini berlaku untuk SD & SMP.
Thinking skills harus digarap dengan sangat fokus di masa-masa ini.
Setelah ‘processor’ di kepalanya jadi, anak-anak akan siap memproses apa saja. Memikirkan dan merenungkan apa saja.
Mereka akan siap menghadapi zaman, yang kita (para guru dan ortu) tidak mampu membayangkan....
Dulu, tahun 1970an, kakekku pernah berpesan :
“Banyaklah belajar, jadilah GUDANG ilmu.”
Tapi, di tahun 2019 ini aku akan berpesan ke generasi muda:
“Banyaklah berpikir, jadilah PABRIK ilmu. Menciptakan ilmu dan temuan baru. Bukan cuma jadi gudang penyimpan ilmu. Urusan itu biar dilakukan oleh Google....”