21 Nov 2009

Akhlak dan Kebangkitan Umat

Akhlak adalah bentuk plural dari al-khulq atau al-khuluq. Secara literal,al-khulq atau al-khuluq bermaknaal-sajiyah, al-filaan*, al-muru`ah, al-‘aadah, dan al-thib’ (karakter, kejiwaan, kehormatan diri, adat kebiasaan, dan sifat alami).

Al-Mawardiy
 menyatakan bahwa, makna hakiki dari al-khuluq adalah adab (budi pekerti) yang diadopsi oleh seseorang, yang kemudian dijadikan sebagai karakter dirinya. [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy] Sedangkan budi pekerti yang telah melekat pada diri seseorang disebut dengan al-khiim, al-syajiyah, dan al-thabi’ah (karakter). Atas dasar itu, akhlak adalahal-khiim al-mutakallaf (tabiat [karakter] yang dibebankan atau karakter ciptaan), sedangkan al-khiim adalah al-thab’u al-ghariziy (karakter yang bersifat naluriah [tabiat, atau karakter bawaan]).

Kadang-kadang
 al-khuluq digunakan dengan makna agama (al-diin) dan kebiasaan (al-‘adah). Al-Qur'an telah menggunakan kata al-khuluq dengan makna agama dan kebiasaan, di dalam surat al-Syu’araa’ [26]:137, dan al-Qalam [68]: 4.

Allah swt berfirman:
(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang terdahulu.” (Qs. al-Syu’araa’ [26]:137).

Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam [68]: 4).

Makna
 al-khuluq yang terdapat di dalam surat Al-Qalam ayat 4 adalah al-diin(agama). Al-‘Aufiy berkata, “Khuluq ‘adziim” maknanya adalah diinuka al-‘adziim. Penafsiran semacam ini juga dianut oleh al-Dlahak, Mujahid, Abu Malik, al-Rabii’ bin Anas, dan Ibnu Zaid, Imam Ahmad dan lain sebagainya. Sedangkan Ibnu ‘Athiyyahmenafsirkan “khuluq ‘adziim” dengan “adab al-‘adziim” (budi pekerti atau karakter yang agung) [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir]. Sedangkan yang dimaksud “adab” di sini, bukanlah budi pekerti (karakter) yang lahir secara alamiah atau nilai-nilai universal yang luhur, akan adab yang terlahir dari al-Quran.

Imam Thabariy, menyatakan bahwa maksud dari “wa innaka” la’ala khuluqin ‘adzim” adalah “adabin ‘adziim”. Maksudnya, karakter budi pekerti Rasulullah adalah budi pekerti yang dibentuk oleh al-Quran, bukan karakter alamiah yang terpisah dari al-Quran dan sunnah. Dengan kata lain, budi pekerti Rasulullah saw (adab) adalah Islam dan syariatNya (hukum-hukum Allah swt). Menurut Imam Thabariy, ini adalah pendapat para ahli tafsir. [Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy]

Qatadah
 menuturkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau ra menjawab, “Akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran. Sa’id bin Abi ‘Arubah, tatkala menafsirkan firman Allah swt, “wa innaka la’ala khuluq ‘adziim”, menyatakan, “Telah dituturkan kepada kami, bahwa Sa’id bin Hisyam bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, “Bukankah kamu membaca al-Quran. Imam Abu Dawud dan Nasa’iyjuga meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah al-Quran.

Imam Ibnu Katsir
 menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah refleksi dari al-Quran. Beliau menambahkan lagi, sesungguhnya karakter (akhlak) Rasulullah saw merupakan wujud dari ketaatan beliau saw terhadap perintah dan larangan Allah swt. Beliau saw senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan apa yang dilarang olehNya. Wajar saja bila di dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” [HR. Imam Ahmad].

Dari seluruh penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa akhlak adalah karakter ciptaan (fabricated), bukan karakter bawaan (al-khiim). Akhlak seorang muslim berbeda dengan akhlak non muslim. Akhlak seorang muslim dibentuk berdasarkan al-Quran (aqidah dan syariatNya). Akhlak non muslim dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip non Islam. Untuk itu, meskipun sama-sama jujur, kita tidak bisa menyatakan bahwa seorang kapitalis dan seorang muslim sama-sama memiliki akhlak yang baik. Sebab, proses pembentukkan karakter dirinya tidaklah sama. Kejujuran seorang muslim selalu didasarkan pada aqidah dan syariat Islam.
Dengan kata lain, kejujurannya adalah buah dari pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Kejujurannya tidak dibentuk, semata-mata karena jujur itu adalah nilai-nilai universal atau karena bermanfaat.

Berbeda dengan kapitalis maupun sosialis. Kejujurannya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Kejujurannya hanya didasarkan pada prinsip manfaat dan kemanusiaan belaka. Kejujurannya sama sekali tidak dibangun di atas prinsip ketaqwaan kepada Allah swt. Walhasil, akhlak seorang muslim berbeda dengan akhlak orang kafir, meskipun penampakannya sama.

Akhlak seorang muslim merupakan refleksi dari pelaksanaan dirinya terhadap hukum-hukum syara’. Seseorang tidak disebut berakhlak Islam ketika nilai-nilai akhlak tersebut dilekatkan pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah swt. Misalnya, pegawai bank ribawiy tidak disebut berakhlak Islam, meskipun ia terkenal jujur, disiplin dan sopan. Sebab, ia telah melekatkan sifat-sifat akhlak pada perbuatan yang diharamkan Allah swt. Anggota parlemen yang suka membuat aturan-aturan kufur juga tidak bisa disebut memiliki akhlak Islam, meskipun ia terkenal jujur, amanah dan seterusnya. Sebab, nilai-nilai akhlaknya telah melekat pada perbuatan haram.

Walhasil, akhlak seorang muslim harus dibentuk berdasarkan al-Quran al-Karim. Dengan kata lain, akhlak seorang muslim adalah refleksi dari pelaksanaan hukum-hukum Allah swt.


Posisi Akhlak Dalam Syariat Islam

Ada sebagian kaum muslim memahami , bahwa kebangkitan umat harus dimulai dari kebangkitan akhlak. Mereka mengajukan sebuah asumsi, “Jika setiap individu memiliki akhlak yang baik, maka masyarakat pun akan menjadi baik. Kemunduran dan kebangkitan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kebangkitan dan kemunduran akhlaknya.”


Mereka juga mengetengahkan dalil-dalil syara’ untuk membangun argumentasi mereka. Dari al-Qur'an, mereka mengetengahkan ayat,

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti.”[Qs. al-Qalam [68]: 4), serta nash-nash yang senada pengertiannya.

Dari sunnah mereka juga berhujjah dengan hadits yang berbicara tentang akhlak, salah satu contohnya adalah,

Sesungguhnya aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak.


Benar, akhlak merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam. Namun demikian, kita tidak boleh memahami, bahwa akhlak yang dimaksud di sini sekedar sebagai nilai-nilai universal, dan terlepas sama sekali dengan konteks hukum syari’at.

Kejujuran, amanah, disiplin, rasa hormat, dan lain-lain merupakan nilai akhlak yang mulia. Kesemuanya adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh umat manusia, tanpa memperhatikan agama, ras, suku dan jenis kelamin. Kaum Kristen, Budhis, Yahudi, Konghucu, serta kaum kapitalis pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai itu, bahkan berusaha untuk menerapkannya. Kaum muslim juga menjunjung tinggi dan berusaha menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupannya. Namun, seorang muslim tatkala hendak menerapkan nilai-nilai yang sangat mulia itu, bukan didorong oleh sebuah motivasi bahwa nilai-nilai tersebut adalah nilai universal. Akan tetapi, ia melaksanakan semua nilai-nilai itu karena diperintahkan oleh Allah swt. Seorang muslim bersikap jujur, karena ia memang diperintahkan oleh Allah swt, bukan karena jujur itu bermanfaat atau nilai universal. Dengan kata lain, akhlak seorang muslim adalah refleksi dari pelaksanaan syariatNya. Sebab, seluruh perbuatan seorang muslim wajib bersandar pada syariat Islam.


Di sisi lain, seorang muslim harus memahami, kapan ia jujur, dan kapan ia tidak boleh jujur. Seorang muslim, tatkala melakukan jual beli dengan orang lain, harus jujur dan amanah. Namun, ketika dalam peperangan melawan kaum kafir, ia tidak diperbolehkan jujur membeberkan kekuatan kaum muslim.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa akhlak merupakan bagian dari syari’at Islam. Menurut pandangan Islam, akhlak bukan sekedar nilai universal yang berlaku di tengah-tengah manusia, akan tetapi, ia adalah sifat yang harus dimiliki seorang muslim, berdasarkan perintah dari Allah swt. Dengan kata lain, akhlak adalah syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
 (Syamsuddin Ramadhan; bersambung ke bagian 2)

 

Persoalan Utama Kaum Muslim: Bukanlah Akhlak Yang Rusak

Persoalan Utama Kaum Muslim: Bukanlah Akhlak Yang Rusak


Bantahan atas pendapat yang menyatakan, bahwa kebangkitan umat, atau persoalan mendasar umat adalah kebangkitan akhlaknya dapat diperinci sebagai berikut;

Pertama, sebenarnya, konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan masyarakat dari sisi karakter, maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat atau umat. Akhlak adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlak adalah salah satu variable penting untuk membangkitkan individu.

Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat, serta cara untuk mengubah masyarakat. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, maka kita mesti memahami terlebih dahulu unsure-unsur penyusun individu dan bagaimana cara membangkitkannya.

Masyarakat sendiri tersusun atas manusia , pemikiran, perasaan dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.

Benar, manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menyebabkan perubahan masyarakat, maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka. Namun ia juga tersusun oleh pemikiran, perasaan dan aturan. Selain itu faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat bukanlah manusia, akan tetapi pemikiran dan aturan yang diterapkan.

Masyarakat Budha terkenal orang yang menjunjung nilai-nilai akhlak, bahkan terkenal memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia. Namun demikian, warna masyarakat yang tersusun oleh orang-orang Budha dan agama Budha adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Seandainya, akhlak adalah penentu warna masyarakat, tentunya masyarakat Budha akan bangkit menjadi masyarakat Islam. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap tidak beranjak menjadi masyarakat Islam, meskipun setiap individunya memiliki sifat-sifat akhlak yang bernilai universal. Ini menunjukkan, bahwa faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan akhlak individunya.

Fakta lain juga menunjukkan, bahwa negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Islam juga terkenal memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia, misalnya, jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap disebut masyarakat kufur, jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri tersebut adalah sistem aturan kufur. Contoh yang paling mudah adalah negeri Baghdad. Negeri Baghdad ketika dikuasai bangsa Mongol, tidak lagi disebut negeri Islam, sebab, sistem yang diberlakukan di Baghdad bukan sistem Islam. Meskipun penduduknya kaum muslim dan memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia, akan tetapi masyarakat mereka telah berubah menjadi masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan masyarakat tidak ditentukan oleh sifat akhlak universal yang dimiliki oleh individu-individu masyarakatnya, akan tetapi ditentukan oleh aturan dan pemikiran yang diterapkan di dalamnya. Walhasil, perubahan akhlak individu tidak secara otomatis merubah warna masyarakat. Bahkan, perubahan akhlak –sebagai nilai-nilai universal-- sama sekali tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.

Masyarakat Jahiliyah sebelum Islam, juga terkenal memiliki dan menjunjung nilai-nilai akhlak yang tinggi –menghargai tamu, perwira dan sebagainya. Namun demikian, sifat-sifat akhlakiyyah ini tidak berubah ketika masyarakat Jahiliyyah berubah menjadi masyarakat Islam. Kenyataan ini juga menunjukkan Ini bahwa sifat-sifat akhlak bukanlah factor yang menentukan perubahan masyarakat, bahkan tidak berhubungan sama sekali.

Walhasil, jika konteks pembicaraan kita adalah mengubah warna atau corak masyarakat, maka aktivitas perubahannya tidak boleh difokuskan hanya kepada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan kepada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam tentang perubahan individu, kita pun akan menyimpulkan bahwa perubahan individu juga tidak ditentukan oleh akhlaknya, akan tetapi ditentukan oleh pemikiran dan aturan yang diadopsinya. Orang Budha tetap disebut sebagai orang kafir, meskipun meskipun memiliki sifat akhlak universal. Kita tidak mungkin menyatakan bahwa orang Budha adalah muslim. Orang Budha tersebut akan berubah menjadi seorang muslim tatkala pemikiran (aqidah) dan aturan yang diadopsinya adalah aturan Islam.

Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlak –sebagai nilai universal-- bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlak. Namun, anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai Bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa melekat pada pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekal. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlak. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram.

Dedikasi yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat kepada pasukan-pasukan perang yang menjadi pembela sistem kufur. Tetapi, kita tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlak yang menempel pada sistem kufur semacam ini, tidak memiliki arti sedikitpun.

Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlak, hanyalah sekedar bagian dari aturan-aturan Allah swt yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlak sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna masyarakat.

Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlak, atau menganggap bahwa akhlak bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam [68]: 4 dan al-Syu’araa’ [26]: 137. Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syari’at. Mereka tidak pernah mengkaji akhlak dalam bab fiqh tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlak adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Ketiga. Seandainya kita bandingkan dengan bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, kita bisa menyimpulkan bahwa, akhlak yang dimiliki oleh kaum muslim lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum muslim tetap saja dalam posisi kemunduran. Mereka tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa yang akhlaknya lebih rendah dibandingkan mereka.

Keempat. Fakta juga telah menunjukkan, bahwa propaganda-propaganda, seruan-seruan, maupun buku-buku, selebaran, poster, dan lain-lain yang menyerukan kepada akhlak sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum kaum muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik dan hukum. Ini membuktikan bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar dari perubahan. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum muslim.

Seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipahami, bahwa kami meremehkan akhlak, atau tidak menganggap penting masalah akhlak. Namun, kami hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlak bukanlah persoalan utama kaum muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat.

Adapun ayat al-Qur'an yang menyatakan, “

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti.” ( Qs. Al-Qalam [68]: 4), serta nash-nash yang senada pengertiannya, semisal hadits,

“Sesungguhnya aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”, tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlak, atau dipahami bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw adalah perubahan akhlak.

Mufasir-mufasir terkenal, seperti Mujahid, Dlahak, Imam Thabari dan Qurthubiy, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khulq” pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekedar “akhlak”, akan tetapi bermakna “diin[i]” (agama). Di dalam shahih Bukhari telah diriwayatkan bahwa ‘Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Ia menyatakan, “[i]Akhlak beliau saw adalah al-Quran.” (lihat pada catatan kaki, ‘Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasir, juz III, hal.465).

Ini menunjukkan, bahwa al-Quran merupakan pembentuk akhlak Rasulullah saw dan kaum muslim. Akhlak Islam hanya akan terbentuk dengan panduan al-Quran al-Karim.

Tidak ada gunanya mengklaim dirinya berakhlak sementara itu, mereka berkecimpung dan turut aktif di dalam sistem kufur, atau malah masuk ke dalam parlemen untuk membuat aturan-aturan kufur.

Riwayat-riwayat sharih juga menuturkan bahwa fokus utama dakwah Rasulullah saw adalah mengubah sistem kemasyarakatan jahiliyyah, kemudian diganti dengan sistem Islam. Dengan kata lain, beliau senantiasa memfokuskan dirinya untuk merubah pemikiran yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Fakta perubahan masyarakat di jaman Rasulullah saw dan juga fakta perubahan masyarakat yang ada di dunia ini, menunjukkan bahwa masyarakat hanya akan berubah jika pemikiran mereka telah berubah.

Demikianlah anda telah kami jelaskan dengan gamblang bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar bagi kebangkitan umat, dan ia juga bukan masalah utama kaum muslim.(Syamsuddin Ramadhan) 

06. Akhlak Kepada Kerabat Keluarga

Check out this SlideShare Presentation:

03. Akhlak Kepada Orang Tua

Check out this SlideShare Presentation:

04. Akhlak Kepada Istri

Check out this SlideShare Presentation:

01. Urgensi Akhlak Karimah Dan Akhlak Kepada Allah SWT

Check out this SlideShare Presentation:

08. Akhlak Terhadap Tetangga

Check out this SlideShare Presentation:

02. Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Check out this SlideShare Presentation:

16 Nov 2009

Doa Sang Adik

Dua orang laki-laki bersaudara . Mereka suah yatim piatu sejak remaja.Keduanya bekerja pada sebuah pabrik kecap .

Mereka hidup rukun , dan sama-sama tekun belajar agama. Mereka berusaha mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin.

Untuk datang ke tempat pengajian, Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah Sang Ustadz. Jaraknya sekitar 10km dari rumah peninggalan orangtua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo'a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, dia jabatannya naim dia menjadi kepercayaan sang direktur.Dan tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki.Dia mendapatkan bonus karena omzet perusahaannya naik.

Lalu sang kakak berdo'a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.

Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo'a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do'anya itu.

Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo'a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo'a.

Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo'a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, " Dik, sesungguh ketidak mampuan kita menghapal quran, hadits dan bacaan doa. bisa jadi karena hati kita kurang bersih.. "

Sang adik Mengangguk, hatinya terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

----

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do'anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do'a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do'a untuk guru mereka, do'a selamat dan ada kalimah di akhir do'anya:

"Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu,
Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do'a kakak ku,
Jadikan Kakakku selalu dalam lindungan dan cinta-Mu,
Bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku
didunia dan akhirat.,"

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya.Dia telah salah menilai adiknya. Tak dinyana ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo'a untuk memenuhi nafsu duniawinya.

edited from : Aidil Heryana

oOo

Kekayaan, kemiskinan, kebaikan, keburukan dan setiap musibah yang menimpa manusia merupakan ujian dari Allah swt. yang diberikan kepada hambanya. Itu bukan ukuran kemuliaan atau kehinaan seseorang. Janganlah bangga karena kekayaan dan jangalah putus asa karena kemiskinan..

"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu."(QS, al-Hujurat [49]: 13)
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Kisah Jam Tangan

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. "Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?" "Ha?," kata jam terperanjat, "Mana sanggup saya?" "Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?" "Delapan puluh ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?" jawab jam penuh keraguan.

"Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?" "Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu" tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya. Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada
si jam. "Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?" "Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!" kata jam dengan penuh antusias.

Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali.

hikmah : qs Al Ashr

1. Demi waktu,
2. Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

11 Nov 2009

Buku Telepon

Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan. "Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?" Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari guru, "Ya,ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu..." Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan guru itu menunjuk pada seorang murid. "Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-temanmu. .." Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, "Seminggu yang lalu, adalah masa yang sangat besar buatku. Orangtuaku, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang aku impikan selama ini" Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. "Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu!" Sang guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka,terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang. "Pak Guru... Pak, aku belum bercerita" Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya. "Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua", ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu. "Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?", Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali. "Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah... saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang lalu" Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu. Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, "Ha? aku sudah sejak lahir menemukan nama keluargaku di buku telpon. Buku Telpon? Betapa menyedihkan. .. Hahaha" Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, "Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?" Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan. Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan. "Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak..." Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. "Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa di kejar polisi" Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan. "Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja.Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku. Dan kini, Ayah berhasil. Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi.Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Itu juga berarti, aku tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya" Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. "Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang aku dapatkan nanti..." Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragme tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan. Mereka juga belajar satu hal: "Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun... Sebesar apapun" hikmah : Keluarga itu penting!!! maka : Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu".(At-Tahrim : 6) anak yg mengerti akan arti keluarga... sumber : Nurizka Prabayuni )
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

8 Nov 2009

Kurban di Wonogiri

Assalamualaikum wrwb.

Segala puji hanya bagi Allah swt, teriring salam sejahtera kepada Rasulullah saw.

Dalam rangka memberikan kebahagiaan kepada saudara2 kita di daerah miskin wonogiri, sebagaimana tahun-tahun lalu, insya Allah pada tahun ini Yayasan Husnul Khotimah yg mengelola Pesantren Terpadu As-Salamah di Baturetno Wonogiri bermaksud untuk menyalurkan hewan kurban ke wilayah-wilayah minus tersebut. Untuk itu kami mengajak rekan-rekan untuk bersama-sama mewujudkan niat baik ini. Harga hewan kurban di daera tsb, untuk kambing sebesar Rp. 900 ribu s/d 1,1 juta, sedangkan sapi 8 jt s/d 9 jt per ekor.

Dana dapat ditransfer via rek bendahara yayasan atas nama Ibu Sri Untari sbb:
1. BNI No Rek 5361508
2. BCA No rek 7150 319611
3. BSM no rek 061 008 9336
4. Bank Mandiri no rek 157 00 00556929.

Semoga Allah swt selalu merahmati kita dan memberikan yg terbaik bagi dunia dan akhirat kita.. Amiin.

Wassalamualaikum wrwb

= Prihandoko
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT