31 Des 2016

Ekonomi Indonesia Hadapi Lawan Tak Kelihatan

 *_OPINI Prof. Rhenald Kasali Ph.D.: Ekonomi Indonesia Hadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan_*

27 Des 2016

Proyeksi ekonomi Indonesia 2017 beserta angka-angka pertumbuhan, inflasi, lapangan kerja, peta investasi, dan seterusnya sudah sering Saudara baca.

Demikian juga ancaman dan peluang dari pasca terpilihnya Donald Trump dan dunia yang semakin protektif. Kehidupan berusaha dan berprofesi di tahun-tahun mendatang juga tidak akan lebih mudah karena muncul peta yang sama sekali baru.

Banyak hal-hal baru yang menakutkan incumbents hadir di depan mata. Salah satunya, proses penghancuran melalui inovasi, bisnis model, dan disrupsi.

Lawan-Lawan Tak Kelihatan

Yang jelas para usahawan tengah menghadapi kompetisi baru yang identitasnya tak begitu kelihatan. Seperti Blue Bird dan Express yang kecolongan Grab dan Uber. Lawan itu datang tanpa logo, tanpa pelat nomor kuning, dan tak ada tulisan taksi. Tahu-tahu armada itu sudah besar dan menggerogoti penerimaan perusahaan.

Akibatnya, Express rugi Rp 81 miliar per kuartal ketiga 2016. Sedangkan laba Blue Bird turun dari Rp 625,42 miliar ke Rp 360 miliar pada kuartal ketiga 2016.

Pada 2016 akhir, kita juga mendengar banyak kalangan pemilik hotel yang menyatakan keinginan untuk exit dari industri ini per kuartal III 2016. Alasannya adalah kontraksi dana APBN yang membuat okupansi hotel untuk keperluan meeting pemerintah berkurang.

Faktanya, para traveler pemula (the millenials) tengah beralih dari hunian hotel ke penginapan-penginapan berbasiskan sharing economy, seperti Airbnb dan Couchsurfing. Di Bali, di sepanjang Jalan Sunset Road, tumbuh rumah-rumah kos elite yang ditawarkan dengan pola ini.

Belum lagi restoran-restoran yang kelak akan kehilangan pengunjung dengan tawaran-tawaran makan siang atau malam bersama penduduk di rumah-rumah mereka melalui platform sharing economy.

Lantas, bagaimana dengan produk sehari-hari? Ambil saja produk makanan. Sejak tahun 2009 konsumen kelas menengah dunia sudah mulai meninggalkan makanan dalam kemasan, beralih ke makanan segar dan organik.

Di berbagai kota besar di Indonesia, kita saksikan rombongan tukang sayur bersepeda motor semakin banyak mendatangi kawasan perumahan. Lalu toko buah-buahan segar dan sayuran tumbuh pesat.

Di Amerika Serikat sendiri, sejak tahun itu 25 produsen utama makanan olahan telah kehilangan pendapatan sebanyak US$ 18 miliar.

Di Laut juga Berubah

Masalah dalam angkutan laut ternyata juga sama. Lagi-lagi banyak pihak salah membaca menyusul bangkrutnya raksasa Shipping Lines, Hanjin (Korea) yang menguasai pangsa pasar 3 persen dunia.

Umumnya para analis menunjuk pelemahan pertumbuhan ekonomi dan melemahnya harga-harga komoditi dunia, yang bahkan mengakibatkan harga kapal anjlok 60 persen dari harga semula.

Akan tetapi, fenomena ini sebenarnya tak berbeda jauh dengan fenomena bisnis taksi, sebab shipping company kini tak perlu lagi mempunyai kapal sendiri. Cukup menjadi operator saja. Jadi, order angkutan barang dari Kalimantan menjadi mahal kalau harus diangkut dengan kapal dari Jakarta. Kini operator cukup mengontak kapal-kapal yang ada di dekat lokasi yang pasti lebih murah.

Dengan strategi ini, Djakarta Lloyd yang dulu juga sempat terancam bangkrut antara 2008-2013 rugi terus dengan total Rp 554 miliar, kini sudah kembali sehat dengan catatan keuangan di tahun 2016 mampu menorehkan laba bersih Rp 40 miliar, sebagai operator company.

Gerak perusahaan operator ini memang tak kelihatan dan begitu luas di seluruh industri dan sektor, tetapi selalu disangkal incumbent. Padahal, perubahan ini sudah mengikuti hukum moore yang terjadi secara eksponensial, supercepat.

Saya harap bulan depan anda sudah bisa membaca kajiannya dalam buku saya yang berjudul Disruption. "Sekalipun Anda Incumbent, dan menghadapi lawan-lawan tak kelihatan, cegah kehancuran sekarang juga."

Saya harap Anda bersabar dulu. Jadi ini adalah sebuah era yang membutuhkan disruptive regulation, disruptive mindset, dan disruptive marketing.

Mari Kita Kenali Ciri-Cirinya

Pertama, teknologi mengubah kita semua dari peradaban time series menjadi real time. Time series statistic menghasilkan indikator-indikator lagging (ketinggalan). Ia menghitung dengan benar, tetapi basis datanya adalah masa lalu.

Peradaban real  bisa menghasilkan indikator-indikator kekinian (current indicator), saat ini, yaitu saat kita menghadapinya sehingga lebih relevan untuk membuat keputusan. Ini tentu berkat teknologi big data analitycs.

Kedua, dulu untuk berbisnis, Anda harus memilikinya sendiri. Kini Anda bisa saling memanfaatkan resources.

Ketiga dulu, teknologi tak memungkinkan kesegeraan. Kita semua harus antri (on the lane), sabar dan rela menunggu. Kini, Anda hidup dalam on demand economy. Jarak sudah mati, stok, data, dan armada, sudah dipindahkan ke dekat lokasi yang membutuhkannya. Teknologi dan algoritma data besar memungkinkan bagi kita untuk melakukannya.

Keempat, kurva supply-demand yang dulu Anda pelajari adalah permintaan-dan-penawaran tunggal. Kini kita hidup dalam dunia apps yang pada saat bersamaan dikerjakan oleh puluhan, bahkan ribuan jejaring.

Kelima, musuh-musuh Anda (kompetitor) sudah tak lagi kelihatan. Mereka langsung masuk ke sasaran-sasaran utama, kepada konsumen, door to door, langsung. Seperti Uber yang tak kelihatan, tak berbendera, tak bertanda apa-apa.

Sekali lagi, sejak dunia mengenal hukum Moore, disruption ini bersifat eksponensial, bukan linear. Artinya supercepat. Bayangkan apa jadinya kalau Anda terlalu lama membuat keputusan, desain perusahaan rigid dan statik, dan pegawai Anda bermental passenger?

Selamat Tahun Baru, 2017. Happy Holiday.

Rhenald Kasali

Guru Besar Ilmu Manajemen UI

@Rhenaldkasali

Prihandoko
+62 813 1058 8353

30 Des 2016

IABEE training to Japan, 3-10 Nop 2016

Trip to Bandung, 19 Nop 2016

Kopdar Sahabat Depok 17, Kabeda 27 Nop 2016

Trip to Baturetno n Pacitan, 10 Des 2016

Trip to Lombok, 24-25 Des 2016

Kelahiran cucu pertama, 24 des 2016

Liburan, ancol 26 des 2016

Mendahulukan Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Mendahulukan Kemanusiaan Sebelum Keber-Agama-An
Oleh: Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri

Ada yang bertanya, mengapa kemanusiaan didahulukan daripada keber-agama-an? Baiklah saya jawab. Pertama, banyak yang bingung antara agama (religion, diin) dan keber-agama-an (religiosity, tadayyun). Iya, memang betul bahwa agama didahulukan sebelum kemanusiaan, bahkan sebelum apapun, karena ia bersangkutan dengan Allah Ta'ala.

Namun yang kita bicarakan di sini adalah keber-agama-an, bukan agama. keber-agama-an ialah bagaimana kita melaksanakan ajaran agama. Dan dalam hal ini, kemanusiaanlah yang didahulukan daripada keber-agama-an. Suatu hari, datang seorang Arab dusun kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah,

"Siapa engkau?" Rasulullah menjawab, "Aku utusan Allah." Ditanya lagi, "Siapa yang mengutusmu?" Rasulullah menjawab, "Allah."
"Dengan apa Dia mengutusmu?" tanya orang itu lagi. Rasulullah menjawab, "Mengeratkan tali persaudaraan, melindungi kehidupan, mengamankan jalan," kemudian Rasulullah baru menyebutkan perkara tauhid, "Menghancurkan berhala sehingga hanya Allahlah yang disembah."

Lihatlah, bagaimana hadits Rasulullah tersebut. Meskipun tauhid adalah pondasi risalah kerasulan, namun beliau menyebutkan sifat-sifat kemanusiaan terlebih dahulu. Sebab, jika rasa kemanusiaan seseorang itu baik, maka rasa keber-agama-an akan memastikan keterhubungannya dengan sekelilingnya berlandaskan pada hubungannya dengan Allah. Sebaliknya, jika rasa kemanusiaannya rusak, maka setiap langkahnya dalam keber-agama-an akan bertentangan dengan tujuan agama itu sendiri.

Kelompok Khawarij yang membunuh Sayyiduna Ali bin Abi Thalib adalah orang yang menghabiskan malam sebelum pembunuhan untuk beribadah. Ia berdiri shalat sepanjang malam hingga kakinya bengkak. Orang seperti dia mempraktekkan ritual keber-agama-an, namun tidak memiliki pemahaman hakiki tentang wadah bagi keber-agama-an itu, yakni kemanusiaan.

Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga pernah bersabda, "Sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambung tali peraudaraan, dan shalatlah di kala malam saat orang-orang terlelap, dan engkau akan masuk surga dengan selamat."

Coba lihat, Rasulullah menyebutkan shalat malam setelah menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Beliau menyebutkan perintah menebarkan salam, memberi makanan, menyambung persaudaraan, sebelum menyebutkan ritual peribadatan pribadi. Di hadits yang pertama tadi, kita memahami bahwa Rasulullah menempatkan sifat-sifat kemanusiaan sebagai wadah bagi tauhid atau keyakinan. Di hadits kedua ini, beliau menjadikan sifat-sifat kemanusiaan sebagai wadah bagi peribadatan ritual yang menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah.

Maka tak diragukan bahwa siapapun yang melihat aksi kriminalitas pada masa-masa ini atas nama agama, akan menyadari bahwa masalah yang kita hadapi adalah tentang kemanusiaan. Kita harus berkaca kembali, mengoreksi diri, terutama atas rasa kemanusiaan. Inilah mengapa saya memulai buku yang saya tulis ini (Al-Insaniyyah Qabla at-Tadayyun, Dar al-Faqih Kairo: 2015) dengan kritik terhadap diri saya sendiri. Kemudian kritik terhadap makna keber-agama-an saat ini. Lalu tentang masalah-masalah yang dihadapi anak muda, kemudian beberapa konsep penting yang harus kita pahami.

Tambahan Dari Syaikh Usamah Al-Azhari:
Kemanusiaan sebelum keber-agama-an adalah hal yang benar, tak diragukan lagi. Saya memahami satu pelajaran tentang kemanusiaan sangat gamblang di dalam Al-Quran yang kita semua sering membacanya di dalam shalat. Yakni surat Al-Ma'un, ketika Allah bertanya,

"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?"
Kemudian Dia menjelaskan bagaimana pendustaan terhadap agama dilakukan, yaitu;
"Yaitu orang yang menghardik anak yatim."
Misalnya, menghardik dengan kekerasan atau semisal, padahal rasa kemanusiaan dimanapun pasti bersimpati terhadap anak yatim. Lalu dilanjutkan;
"… dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin."

Di ayat ini Allah menyamakan kerasnya hati seseorang dan penolakannya terhadap kebutuhan manusia pada makanan atau minuman dengan pendustaan terhadap agama. Kemudian Allah mengatakan bahwa ketidakmanusiawian ini hanya akan mengantarkan seseorang pada ritual ibadah yang hampa.

"Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya."

Apa yang membuatnya lupa, lalai, dan tidak bisa khusyuk di dalam shalatnya? Apa yang membuatnya tidak bisa menghayati keagungan Tuhan Penguasa semesta raya dalam ritual ibadahnya? Yakni akibat hubungannya yang rusak dengan sesama manusia. Ketika ia berhati batu, maka hal ini akan tercermin dalam peribadatannya yang hampa. Ibadah yang ia amalkan tidak mengantarkannya pada tujuan. Ia shalat namun tak menebar rahmat bagi sesamanya.

"Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna."

Dalam ayat terakhir ini, menurut Sayyiduna Abdullah bin Abbas, makna 'enggan menolong dengan barang berguna' ialah termasuk pada benda-benda kecil seperti mangkuk atau lainnya. Jadi, jika seorang tuan rumah menolak memenuhi kebutuhan tetangganya yang membutuhkan, ia harus tahu bahwa Allah menganggap perilakunya itu sebagai pendustaan terhadap agama.

Maka kesimpulannya, kita bisa memahami ada tiga hal di sini. Pertama, agama. Kedua, hubungan kemanusiaan. Lalu ketiga, praktek keber-agama-an.

Penutup Dari Habib Ali Al-Jufri:
Bahkan Allah Ta'ala menghubungkan sifat riya' terhadap perilaku-perilaku ini. Bahwa sifat riya akan muncul dalam ritual ibadah orang yang tidak menghiraukan rasa kemanusiaan. Ritual ibadahnya hanya untuk dipertontonkan, dan cahaya tidak merasuk ke dalam hatinya. Kemudian sikap semacam ini; mengenyampingkan rasa kemanusiaan, ritual ibadah yang dipamerkan, berkembang menjadi perilaku zalim dan pengrusakan sebagaimana kita lihat hari ini. [Zia]

*Diterjemahkan dan ditranskrip oleh Santrijagad dari wawancara Habib Ali Al-Jufri dan Syaikh Usamah al-Azhari di CBC TV Mesir.


Prihandoko
+62 813 1058 8353

Koq Islam Begitu Ya? Jawaban bagi para Islamophobia...

*Artikel ini menarik, menggugah persepsi kita,  "Koq Islam Begitu Ya"*
 
InsyaAllah membuat kita lebih cinta dan mengenal islam kian sempurna. 

*Alergi Islam*

# Pemikiran islam # Nov 23, 2016

*Perwujudan Islamophobia*

Oleh Akmal Sjafril

Ada sebuah gejala *sakit menahun* yang menjangkiti Indonesia, negeri besar nan dipuja sebagai Zamrud Katulistiwa, yang mayoritas warga negaranya beragama Islam ini. Sebutlah penyakit itu: *alergi Islam!*  Manakala nama Islam disebut, kambuhlah alergi itu, dan mereka yang membawa penyakit ini dalam tubuhnya *segera bersikap skeptis, mencibir, dan kemudian mencemooh.* Penyakit ini sangat menular!

Dahulu, Prof. Rasjidi (Menteri Agama RI yang pertama) pernah mendapatkan sebuah pertanyaan yang telah menjebak banyak orang pada jamannya. Pertanyaan itu kurang lebihnya begini: *mengapa negara-negara Islam miskin, sedangkan negara-negara Kristen itu kaya raya?*

Mereka yang paham ilmu statistika dasar mestilah *segera mempertanyakan ruang sampel yang dipergunakan*. Sebab, jika ruang sampel untuk *'negara-negara Islam' itu adalah Bangladesh dan Somalia,* maka wajar jika muncul kesimpulan (meski prematur) bahwa negara-negara Islam itu miskin. 

Demikian juga jika ruang sampel untuk *'negara-negara Kristen' itu adalah Inggris, Amerika atau Kanada,* maka memang bisa muncul kesimpulan bahwa *negara-negara Kristen itu kaya*. 

Tapi jika ruang sampelnya adalah *Brunei Darussalam dan Saudi Arabia untuk negara-negara Islam atau Yunani dan Papua Nugini untuk negara-negara Kristen*, maka kita pun bisa membuat kesimpulan sebaliknya.

Beberapa dekade sejak jamannya Prof. Rasjidi, pertanyaan itu menjelma ke dalam bentuk lain: *mengapa di Indonesia koruptornya kebanyakan Muslim?*

Ini pun *masalah statistik yang tidak berat-berat amat,* namun toh mampu juga mempengaruhi alam pikiran sebagian orang yang terlampau naif.

Sebuah ilustrasi mungkin dibutuhkan di sini. Bayangkanlah Anda *memiliki semangkuk kelereng berjumlah — katakanlah — 100 buah.*

Dari 100 buah kelereng itu, 85 di antaranya berwarna putih. Silakan aduk-aduk isinya, kemudian ambillah sembarang kelereng dengan mata tertutup. *Warna apa yang Anda perolah?*

Tentu saja *hanya Tuhan yang tahu kelereng warna apa yang akan Anda peroleh.* 

Tapi menurut statistik, sangat besar kemungkinan Anda  akan *memperoleh kelereng berwarna putih.* Tepatnya, prosentase kemungkinan didapatkannya *kelereng putih itu adalah 85%.*

Karena perbandingan antara *kelereng putih dan bukan putih cukup jauh (85:15)*, maka kelereng putih praktis mendominasi dalam setiap prediksi. 

Jika Anda *tumpahkan mangkuk kelereng tadi*, maka kemungkinan besar kelereng yang *paling jauh menggelinding berwarna putih*. 

Jika isi mangkuk itu Anda *lempar ke atas,* maka kemungkinan *besar kelereng yang akan membuat benjol kepala Anda adalah kelereng putih.*

Anggaplah Anda malas membereskan kelereng yang sudah Anda tumpahkan itu. Jika kemudian ada yang terpeleset karena tak sengaja menginjak sebuah kelereng, maka yakinlah bahwa tersangka utamanya itu berwarna putih!


*Surat kabar di Amerika, pada tahun 1945,* mengidentikkan 'Indonesia' dengan umat Muslim. Karena itu, yang berjihad di Surabaya mereka sebut sebagai *'moslem fanatics' (muslim fanatik)*. Karena mayoritas
Surat kabar di Amerika, pada tahun 1945, mengidentikkan *'Indonesia' dengan umat Muslim*. Karena itu, yang berjihad di Surabaya mereka sebut sebagai *'moslem fanatics' (muslim fanatik)*. Karena *mayoritas mutlak, wajar jika Indonesia diidentikkan dengan Islam*. 

Yang tidak wajar adalah yang mencoba memisahkan Indonesia dengan umat Muslim.

Oleh karena itu, *memandang buruk umat Muslim Indonesia hanya karena koruptor di negeri ini kebanyakan Muslim juga adalah sebuah tindakan yang tidak adil, karena sama sekali tidak menggambarkan realita secara utuh.*

Karena *Muslim memang mayoritas mutlak di Indonesia,* maka sangatlah masuk akal jika *kebanyakan koruptor, pencuri, pembunuh dan pemerkosa di sini adalah Muslim*. 

Tapi sebaliknya, jika ada aksi penggalangan dana untuk korban musibah, kemungkinan besar penggeraknya juga Musl
im. *Jika ada remaja yang menolong seorang nenek menyeberang jalan, sangat mungkin ia adalah remaja Muslim.* 

Dan jika suatu hari Anda mengalami kecelakaan di jalan raya, jangan terlalu terkejut jika yang *segera datang menolong Anda — baik pengguna jalan lain, polisi atau paramedis — ternyata adalah seorang Muslim.*

Ada lagi *bentuk gagal paham statistik* yang lain. 

Ada yang bertanya, *mengapa di Indonesia pengajaran agama digelar dari pagi sampai sore, mulai dari sekolah sampai ke Masjid-masjid dan seluruh saluran televisi, namun masih muncul saja kasus-kasus yang memilukan bagi kemanusiaan?*

Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa *agama telah gagal membimbing manusia ke jalan yang benar?*

Tentu saja masih ada hal yang mesti dijawab sebelum kita menghubungkan kedua hal tersebut. *

*Apakah para pelaku kejahatan tersebut adalah mereka yang belajar agama dari pagi sampai sore?*

*Tentu tidaklah bijak 'menghukum' suatu kelompok atas tindakan kelompok yang lain*. 

Jika di antara mereka yang belajar agama dari pagi sampai sore itu muncul 1-2 bajingan, tidak bisa pula simpulkan bahwa pendidikan agama telah gagal, sebab *kesimpulan gegabah semacam itu tidak dibenarkan oleh ilmu statistika*. 

Di samping itu, masih ada pertanyaan lainnya seperti: bagaimana kualitas pendidikan agamanya? Meskipun digelar dari pagi sampai sore, jika pendidikannya salah arah, maka wajar jika hasilnya jauh dari harapan.

Masih ada bentuk pertanyaan yang mirip-mirip, namun kesalahannya seputar wawasan atau logika, bukan statistika. Kelompok gagal paham yang ini mempertanyakan *mengapa Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim masih saja dirundung masalah di segala lini.*

Mungkin mereka lupa bahwa *sejak diproklamasikannya Indonesia sampai detik ini, kaum sekuler terus mem-bully siapa saja yang membawa-bawa agama (terutama Islam) ke dalam ranah politik*. 

Lebih ironis lagi jika mereka mencari-cari siapa gerangan yang melarang-larang penerapan Islam di ranah politik, sebab kemungkinan besar mereka akan menemukan nama dan wajah mereka sendiri atau pendahulunya.

*Belakangan ini muncul jenis alergi yang lain lagi*, yang disinyalir merupakan akibat dari terjangkit virus hasil mutasi dari virus-virus yang sebelumnya. Mereka sangat alergi kepada Islam dan Muslim, meski sebagian di antara mereka selalu *mencantumkan "Islam" setiap kali menemukan kolom agama yang harus diisi.*
 
Begitu parahnya penyakit mereka, sehingga setiap kali umat Muslim mewacanakan sesuatu akan *dianggapnya sebagai 'anti toleransi', 'tirani mayoritas', atau apalah.*

Jika ada yang khawatir dengan *bahaya minuman keras (miras), dan kemudian mengusulkan agar miras dilarang saja, segeralah orang berteriak-teriak.*

Keragaman terancam! Ini bukan negara agama! *Jangan membuat aturan hanya berdasarkan Islam saja!*

Padahal, miras membunuh siapa saja, baik yang Muslim maupun yang tidak, yang beragama maupun yang tidak, bahkan miras juga membunuh baik yang meminumnya maupun yang tidak beruntung karena kebetulan sedang berada di sekitar para pemabuk.

Ketika aturan-aturan ini dibakukan menjadi sebuah peraturan daerah, muncullah labelisasi *'Perda Syari'at'*. 

Luar biasanya, begitu banyak yang takut akan syari'at, *seolah-olah syari'at Islam itu identik dengan memenggal kepala, dan seolah-olah mereka yang paranoid ini merasa akan dipenggal semua.*

Paranoia terhadap segala hal yang datangnya dari umat Muslim ini tentu sangat mengherankan. Sebab, sekali lagi, Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. 

Sudah barang tentu, Islam memberikan pengaruh pada cara berpikir umat Muslim. Berdasarkan statistik pula, karena mayoritas mutlak, maka sangat wajar jika berbagai wacana di negeri ini dipelopori oleh umat Muslim. 

*Apakah semua wacana itu akan terus diperlakukan secara diskriminatif hanya karena ia merupakan buah pemikiran umat Muslim?* 

Ataukah *umat Muslim diwajibkan untuk tutup mulut dan menerima saja apa pun yang diperbuat orang terhadap negeri ini?*

Jika Anda penasaran bagaimana caranya membangkitkan kebencian terhadap Islam di tengah-tengah masyarakat Barat (terutam
AS), maka *buku "Islamophobia" karya Nathan Lean ini wajib dibaca.* Versi bahasa Indonesia bisa Anda pesan melalui SMS/WA ke 0896-227-45-222.
*Kebencian terhadap Islam sudah jauh meninggalkan logika.*

Kurang lebih sama blundernya dengan *berteriak-teriak menyatakan kebencian terhadap orang Minang di tengah keramaian di depan Jam Gadang,* atau mengumandangkan *kebencian rasis terhadap orang berkulit hitam di tengah-tengah pertandingan NBA*.

Apa kebaikan yang bisa didapatkan dari kebencian semacam ini? Mengapa negeri ini harus terus diprovokasi untuk ribut? *Tidak bisakah kita berdialog dengan akal sehat?*

*Dahulu, orang-orang sekuler mengklaim bahwa sekularisme dapat menempatkan semua agama pada tempat yang terhormat. Pada kenyataannya kini, Islam direndahkan sedemikian rupa,* sehingga seolah-olah setiap hal yang datang dari ajaran Islam adalah sesuatu yang merugikan bangsa. 

Jika benar demikian adanya, tentu Indonesia sudah hancur sejak lama. Sebab, sekali lagi, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas negeri ini. Jika ada orang yang bilang *warga Indonesia ramah-ramah, atau memuji toleransi masyarakatnya, atau pilihlah satu hal yang Anda sukai dari Indonesia, maka yakinlah bahwa kemungkinan besar ada andil umat Muslim dalam kebaikan itu.*

Jika Anda mencintai Indonesia, maka ketahuilah bahwa *yang paling banyak berkorban dan menumpahkan darahnya untuk negeri ini adalah umat Muslim*. 

*Membenci Islam tidak ada bedanya dengan membenci Indonesia*.

Ini cuma masalah statistik!

Penulis adalah Pendiri dari Sekolah Pemikiran Islam dan Indonesia Tanpa JIL

*** Silahkan Share, untuk kesempurnaan islam ***

Prihandoko
+62 813 1058 8353