Tampilkan postingan dengan label depok-post. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label depok-post. Tampilkan semua postingan

1 Des 2008

Visi Depok Post 25 : Menuju Depok Bebas Lingkungan Kumuh 2015



Draft Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh yang tengah dirancang oleh Kementerian Perumahan Rakyat, telah merumuskan dua definisi dari lingkungan kumuh (slum settlements). Pertama, lingkungan kumuh adalah suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk (deteriorated) baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung membahayakan bagi penghuninya.

Kedua, lingkungan kumuh yaitu lingkungan permukiman dengan tingkat hunian dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, kualitas rumah yang sangat rendah serta tidak memadainya prasarana dan sarana dasar seperti air minum, jalan, air limbah, sampah dan drainase serta tingkat pendidikan dan pendapatan penghuninya yang sangat rendah, tingkat privasi keluarga yang rendah serta beragamnya norma sosial budaya yang dianut.

Berdasarkan definisi kedua di atas, nampak tantangan ke depan untuk menyelesaikan masalah ini sangat kompleks. Pertama, problem kepadatan bangunan. Problem kepadatan bangunan ini sangat terkait dengan masalah perencanaan tata ruang wilayah. Sebuah perencanaan yang baik harus memperhatikan proporsi pemanfaatan lahan. Seberapa luas yang akan dimanfaatkan untuk bangunan dan berapa luas tetap dipertahankan berupa lahan kosong. Idealnya, untuk setiap lahan, hanya 30% saja yang diperuntukkan bagi bangunan, sedangkan yang 70% harus tetap berupa lahan kosong. Namun, kenyataan yang ada sekarang sangat jauh dari ukuran ideal tersebut. Jika komposisi ini tidak segera diperbaiki secara bertahap, maka kita tinggal menunggu waktu untuk sebuah kehancuran lingkungan yang lebih besar di masa yang akan datang.

Problem kedua menyangkut kualitas rumah yang sangat rendah. Rumah mempunyai peran sangat strategis dalam pembentukan karakter suatu bangsa. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, pusat pembinaan karakter dan kepribadian manusia, dan pusat penyiapan generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, kelayakan rumah sebagai suatu tempat hunian harus dibarengi dengan kelayakan sebagai pembentuk karakter manusia. Semua pihak harus mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap masalah ini. Betapa masih banyak saudara-saudara kita yang menempati rumah yang sangat tidak layak, bahkan mungkin tidak manusiawi. Tidak sedikit kita temukan satu bangunan tempat tinggal dengan ukuran 15 meter persegi dihuni oleh 2-4 keluarga di dalamnya. Ini problem besar dan mendasar. Problem ini tidak dapat diatasi kecuali turun tangannya berbagai lembaga dan instansi besar ke desa-desan dan lokasi-lokasi permukinan kumuh untuk menyelesaikan, baik lembaga pemerintahan, swasta, eknomoi, sosial, dan lain sebagainya.

Problem ketiga menyangkut prasarana dan sarana dasar, seperti air minum, jalan, air limbah, sampah dan drainase. Problem ini domainnya pemerintah. Inisiatif harus datang dari pimpinan pemerintahan. Ia kemudian yang akan menggerakkan aparatnya untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah ini. Pelibatan masyarakat dan swasta perlu didorong lebih intensif. Jika belum semua dapat sarana dan prasarana tersebut dapat diselesaikan, karena keterbatasan anggaran, maka perlu dibuatkan skala prioritas. Pekerjaan mana yang didahulukan, dan mana yang harus diakhirkan. Masyarakat juga perlu dimotivasi dan dirangsang agar ikut serta memikirkan dan membangun berbagai sarana umum ini, agar mereka mempunyai sense of belonging, sehingga akan mudah tergerak untuk ikut serta dalam memelihara dan merawatnya.

Problem keempat menyangkut kualitas sumber daya manusia. Lingkungan kumuh dan rumah kumuh akan terus ada dan tidak akan pernah dapat dihapuskan tanpa kita secara bertahap membangun mental berjuang para warga penghuninya untuk keluar dari kondisi yang menyengsarakan ini. Perbaikan fisik rumah dan lingkungan tanpa membangun mental penghuninya tidak akan secara permanen mengentaskan kehidupan mereka. Oleh karena itu, pembinaan mental dan peningkatan kualitas pendidikan mereka harus menjadi program utama. Untuk urusan ini, pemerintah daerah dapat melibatkan LSM-LSM yang ada yang biasa berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat untuk ikut terlibat.

Sebagai sebuah kota yang padat dengan sekitar 1,4 juta orang penduduk, Depok memiliki jumlah kepala keluarga pra sejahtera sebanyak 29.433 kepala keluarga dan jumlah rumah tidak layak huni sebesar 2.885 buah. Sebuah angka yang tidak kecil. Memperhatikan berbagai problem dan dampak yang dapat terjadi, kita perlu menyelesaikan problem rumah tidak layak huni ini segera. Jika kita mentargetkan Depok bebas lingkungan kumuh pada 2015, maka masih ada waktu 6 tahun lagi. Jika jumlah rumah kumuh dibagi dengan 6 tahun, maka setiap tahun kita musti menyelesaikan 481 rumah kumuh. Ini sebuah angka yang masih ada dalam jangkauan kita, asalkan pola-pola kerjasama, berikut keterlibatan berbagai pihak dalam proses ini dapat dibangun dengan baik dan efektif. Minimal empat poin penting yang kami utarakan di atas dapat menjadi panduan awal dalam mengentaskan kemiskinan melalui perbaikan rumah dan lingkungan kumuh di sekitar kita, menuju Depok bebas lingkungan kumuh 2015. Semoga.

12 Nov 2008

Visi Depok Post 14 - Evaluasi 2 Tahun NMI

Evaluasi 2 tahun Pemerintahan Nur-Yuyun

Tepat dua tahun lalu tanggal 26 Januari 2006 Nur Mahmudi Isma'il dan Yuyun Wirasaputra dilantik menjadi Walikota & Wakil Walikota pertama hasil pilihan langsung rakyat Depok. Segunung harapan menyeruak di tengah nadi masyarakat depok terhadap pasangan tersebut, di tengah berbagai problema kehidupan yang dirasakan semakin memberatkan. Sementara, kemampuan yang ada sangat jauh dari cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan.

Sebagai pemimpin baru, pasangan Nur-Yuyun mewarisi berbagai problema klasik masyarakat kota, mulai dari perilaku buruk sebagian birokrat hingga problem sampah yang mencemari lingkungan dengan hasilnya berupa predikat depok sebagai kota terkotor. Belum lagi masalah kemiskinan, pengangguran, kemacetan jalan, kerusakan jalan, pelayanan publik yang buruk, dan setumpuk problem lain yang sangat berat.

Di tengah situasi seperti itu pasangan Nur-Yuyun mencanangkan visi "Menuju Kota Depok yang Melayani & Mensejahterakan". Sebuah visi yang terasa merakyat, low profile dan menjanjikan harapan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat. Visi tersebut kemudian diuraikan melalui empat misi, mulai dari (1) mewujudkan pelayanan yang ramah, cepat dan transparan, (2) membangun dan mengelola sarana dan prasarana infrastruktur yang cukup, baik dan merata, (3) mengembangkan perekonomian masyarakat, dunia usaha dan keuangan daerah, dan (4) meningkatkan kualitas keluarga, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat, berlandaskan nilai-nilai agama.

Keindahan kalimat dalam visi dan misi di atas menjadi tantangan dan ujian tersendiri untuk pemimpin kita ini. Nur-Yuyun berharap akan mampu merubah paradigma pemerintah sebagai penguasa menjadi pemerintah sebagai pelayan. Pemerintah bertekad tidak lagi mengelola kota ini dengan wajah angker dan tangan besi, tetapi dengan senyum dan sapaan yang simpatik. Tidak hanya mengandalkan senyum dan sapaan ramah, tapi tekad untuk mewujudkan good governance juga menjadi cita-cita yang ingin diwujudkan. Karena, hanya dengan good governance, dengan keempat pilarnya, yaitu transparansi, akuntabilitas, profesionalitas, dan partisipatif, kesejahteraan warga depok baru akan terwujud, sebagai pengejawentahan dari visi dan misi.

Waktu dua tahun ternyata belum cukup untuk dapat memberikan perubahan yang berarti. Beberapa prestasi penting memang patut dibanggakan, seperti lepasnya kota ini dari predikat kota terkotor, pengakuan KPK dan Bapenas terhadap transparansi yang dilakukan dalam proses pertenderan, bantuan santunan kematian sebesar 2 juta bagi setiap warga yang meninggal, prestasi pelajar depok dalam olimpiade tingkat propinsi dan nasional, gerakan RW Siaga yang menjadikan Depok sebagai kota terdepan dalam sektor ini, pemenangan program PPK IPM, transparansi dalam proses penerimaan CPNS, dan beberapa prestasi lainnya, menunjukkan pemerintahan ini cukup bisa diandalkan.

Namun, sederet prestasi tersebut ternyata belum mampu membuat rakyat Depok tersenyum lega dan merasa memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan di hadapan kota-kota lain di negara ini. Saat berbagai prestasi tersebut diukir, sebagian besar masyarakat masih harus merasakan ‘nikmatnya’ jalan berlubang setiap hari. Saat sebagian warga Depok merasakan indahnya bertempat tinggal di perumahan-perumahan mewah, sebagian lain masih harus tinggal di rumah beralaskan tanah dan dinding bambu. Saat wisata kuliner semakin marak di ruas margonda, sebagian masyarakat masih berjuang mati-matian untuk mendapatkan sesuap dua suap nasi untuk mengisi perutnya setiap hari. Dalam aspek pelayanan publik, seperti pembuatan KTP, perijinan, dan lain sebagainya, kinerja aparat pemerintahan masih belum menunjukkan kinerja yang optimal. Mental sebagai penguasa masih mendominasi sebagian besar aparat, dibanding mental sebagai pelayan rakyat. Jargon ‘jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah’ nampaknya belum hilang dari wajah birokrat depok.

Sekali lagi, di tengah berbagai prestasi yang dicapai, secara umum kinerja pemerintahan ini masih belum optimal. Jika diberikan nilai, mungkin nilainya masih 6 atau 6,5. Untuk perbaikan kondisi yang akan datang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, pilih satu atau dua fokus capaian yang ingin diraih dalam 1-2 tahun ke depan. Misalnya, fokus pada problema penanganan kemiskinan. Diawali dengan menjadikan gerakan pengentasan kemiskinan sebagai sebuah gerakan pemkot, kemudian diikuti dengan sosialisasi yang masif dan intensif utk mengajak 1,3 juta warga depok bersama-sama menjadikan problem ini sebagai problem bersama, untuk mengentaskan 124 ribu (data Bapeda, 2006) warga miskin di depok.

Kedua, pembentukan komunitas-komunitas warga untuk mendorong keterlibatan publik dalam proses pembangunan agar lebih efektif. Komunitas atau forum-forum warga ini akan dapat menjadi mitra pemerintah yang positif dalam menyelesaikan berbagai problema yang ada di masyarakat. Ketiga, proses monitoring dan evaluasi yang intensif dan kontinyu untuk memastikan bahwa program yang dicanangkan berjalan dengan efektif. Jika perlu, libatkan komponen atau komunitas masyarakat untuk melakukan evaluasi terhadap berbagai program pemerintah.

Jika ketiga hal di atas dapat dilakukan oleh pemerintahan Nur-Yuyun, kita yakin Depok akan memiliki satu atau dua poin keunggulan, sebagaimana Jembrana, Sragen, Balikpapan, Gorontalo, masing-masing memiliki produk/karya unggulannya, yang membuat kota-kota tersebut selalu menjadi referensi atas sebuah prestasi. Allahu a’lam.

Visi Depok -- Membangun Depok Berbudaya

Membangun Kota Depok yang Berbudaya

Konon dahulu kala jalan margonda raya, sebagai etalase kota, memang tidak pantas menjadi wajah kota. Kemacetan sangat parah, bukan lagi terjadi pada jam-jam sibuk, tapi juga pada jam-jam biasa, hampir 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Para angkutan kota biasa menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, sebagaimana para penumpangnya juga biasa menyetop angkot dari berbagai lokasi yang mereka kehendaki. Mereka tidak peduli dengan halte yang sudah disediakan pemerintah untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Mereka juga tidak peduli dengan akibat yang ditimbulkan berupa antrian panjang kendaraan di belakang angkot yang dihentikannya. Prinsipnya, saya kerjakan apa yang saya ingin lakukan, bukan apa yang seharusnya saya lakukan. Daripada berjalan kaki menuju halte bis yang jaraknya 10-20 meter, yang akan membuat kaki pegal-pegal dan sakit linu, para penumpang lebih suka menghentikan angkot persis di hadapannya. Mereka yakin sopir angkot akan menghentikan kendaraannya sesuai dengan keinginan penumpang. Itulah mental dan budaya warga depok jaman dulu kala.

Jaman dahulu, etalase kota ini juga dipenuhi oleh pot-pot penghias jalan yang dibuat tanpa insting keindahan dan kerapihan. Pot-pot itu dibuat asal jadi, tanpa pernah dipikirkan nilai estetikanya. Pilihan warna yang diambil nampak tidak memiliki selera keindahan yang memadai. Selain itu, dengan keberadaan para pengemis dan anak jalanan yang semakin banyak, para pedagang kaki lima yang tidak pernah rela membiarkan setiap inci trotoar tanpa gelar dagangan, cermin wajah kota ini semakin semrawut dan amburadul. Jika hujan turun, kondisi jalan ini semakin ‘bopeng’, karena munculnya genangan air yang siap menerkam setiap kendaraan yang melaluinya. Sampah yang bertumpuk di pinggir jalan tanpa sungkan berebut untuk tumpah ke jalan yang berisi genangan air.

Itulah wajah depok jaman dahulu kala. Suatu jaman dimana mayoritas urusan di pemerintahan sering dijadikan lahan intrik politik oleh berbagai pihak. Jangan dulu berharap untuk bekerja profesional, bekerja minimal juga belum tentu mereka lakukan. Berbagai macam alasan dapat mereka berikan, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Intinya, semua itu berpangkal dari prasangka dan praduga buruk yang sudah dicap sejak awal. Prasangka buruk yang secara terus menerus dihembus-hembuskan oleh berbagai pihak yang tidak rela dan ikhlas dengan kondisi yang ada, yang senantiasa mencari celah dan perkara yang dapat dijadikan komoditas politik. Akibatnya, berbagai proses menuju penataan kota yang lebih baik seringkali dipolitisir, sehingga menghambat upaya-upaya perbaikan kondisi masyarakat.

Sekarang, tahun 2015. Kita sudah memiliki wajah kota depok yang berbudaya. Memasuki kota Depok melalui jalan margonda kita akan memasuki sebuah kawasan yang bersih, hijau, asri, indah dan nyaman. Taman yang terhampar membatasi dua lajur yang ada ditata dengan sangat cantik. Jalannya mulus dan lancar, pedestrian dan trotoar tertata rapih, tidak ada pengemis dan anak jalanan berkeliaran, toko-toko berjajar dengan indahnya tanpa ada pedagang kaki lima yang mengambil alih fungsi trotoar menjadi pasar. Tidak ada bunyi klakson bersahut-sahutan meneriaki mobil lain yang berhenti mendadak di depannya.

Budaya tertib sudah terbangun dengan baik. Angkutan kota mengantri dengan rapi di setiap halte pemberhentian. Mereka sudah lama meninggalkan kebiasaan berhenti di sembarang tempat untuk mengangkut penumpangnya. Para penumpang kendaraan umum juga sudah disiplin untuk naik dan turun dari halte yang disediakan. Tidak nampak aparat kepolisian di jalan untuk mengatur kondisi lalu lintas, karena memang ketertiban sudah menjadi budaya warga depok, sehingga tidak diperlukan lagi pengawasan dari aparat. Kesadaran warga untuk membuang sampah sudah terbangun. Kotak sampah terletak di sepanjang jalan margonda, untuk mencegah warga membuang sampah di sembarang tempat. Sehingga, meskipun hujan turun dengan deras, tidak ada genangan air yang tumpah ke jalan.

Problemnya, transisi dari depok jaman dulu menuju depok yang berbudaya tidaklah mudah. Pemerintahan kota Bogota saja membutuhkan waktu 10 tahun untuk merubah predikat dari kota miskin dan terbelakang menjadi kota yang berbudaya. Yang pertama dan utama harus dilakukan adalah membangun kecintaan dan kebanggaan warga ini terhadap kotanya. Jika perasaan cinta dan bangga sudah terbangun, rasa kepedulian untuk memecahkan semua masalah bersama-sama akan muncul. Semua persoalan akan dipikirkan bersama, dibahas bersama, dan dijadikan topik bersama untuk dicarikan solusinya. Kecintaan akan memunculkan perasaan senang jika dapat melibatkan diri dan berkontribusi dalam proses pembangunan. Memang tidak mudah untuk membangun kecintaan dan kebanggaan warga terhadap kotanya. Namun upaya dan kerja keras untuk mencapai perkara pertama dan utama ini harus terus menerus dilakukan dengan serius dan konsisten. Pemerintah tentunya menjadi pihak yang harus mengambil inisiatif pertama untuk memulainya. Allahu a’lam bishawab.

=Prihandoko=

Visi Depok -- Dengan IT Menghapuskan KKN

Dengan IT Menuju Kota Depok yang Bebas Korupsi dan Melayani Masyarakat dengan Lebih Baik

Korupsi telah menjadi musuh besar bangsa ini. Pemerintah beserta seluruh komponen masyarakat telah bersepakat untuk memberantas habis semua perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sebab perbuatan buruk tersebut telah menjadi penyebab terbesar keterpurukan bangsa ini. Untuk tahun 2005, menurut Lembaga Transparansi Internasional, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menduduki peringkat ke 137 dari 159 negara yang disurvei. Hal ini menandakan prestasi korupsi negara kita masih berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Salah satu kendala besar bagi banyak bangsa dalam memberantas korupsi adalah karena tidak adanya transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, khususnya sektor yang terkait dengan pelayanan publik. Padahal, transparansi dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses yg ada. Hal ini dapat dilihat di berbagai negara maju, dimana transparansi menjadi salah satu faktor penting yg menciptakan kesuksesan pemberantasan korupsi. Dengan transparansi, publik mengetahui hak dan tanggung jawab mereka, dan tindakan apa yang telah diambil pemerintah dalam melayani mereka secara terbuka.

Salah satu strategi penting yang dapat mendukung terciptanya transparansi guna mencegah perilaku KKN adalah melalui pembangunan e-government yang berbasis Teknologi Informasi (TI). Melalui pembangunan e-government, diharapkan terjadi proses transformasi budaya kerja pemerintahan menuju budaya yang berkualitas yang akan mendorong terciptanya transparansi, mengurangi jarak tempuh dan memberdayakan publik untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pelayanan pemerintahan.

Untuk dapat melakukan transformasi e-government, political will dari pimpinan daerah menjadi faktor utama yang dapat menjadi pemicu bagi berjalan dan suksesnya proses transformasi. Selanjutnya, kesiapan dari pegawai pemerintahan, regulasi, dukungan elemen masyarakat dan kalangan masyarakat luas sangat diperlukan.

Dengan e-government, cara baru dan budaya baru terhadap proses interaksi pemerintah dan rakyat akan terbangun. Cara baru ini akan mengedepankan proses transparansi/keterbukaan, kejelasan waktu, kejelasan biaya dan proses yang terjadi, sehingga akan menghilangkan budaya tertutup dan biaya siluman. Kesuksesan e-government membutuhkan perubahan fundamental bagaimana pemerintahan bekerja, dan bagaimana masyarakat memandang cara pemerintah dalam memberikan layanan bagi mereka. Untuk membangun e-government yang efektif dan efisien, pemerintah harus melibatkan stakeholder penting di luar pemerintahan seperti kalangan pengusaha, asosiasi, akademisi, dan LSM. Tanpa keterlibatan mereka, penerapan e-government tidak akan berhasil, sebab publik tidak akan merespon sebuah sistem yang tidak dapat membantu mereka.

Untuk mencapai kesuksesan dalam transformasi e-government, terdapat lima aspek yang harus dilakukan, yaitu reformasi proses, kepemimpinan, investasi strategik, kolaborasi dan keterlibatan publik. Apabila kelima komponen ini dilakukan dengan baik, maka keberhasilan transformasi e-government akan memberikan efek berganda, baik bagi pemerintahan, maupun bagi masyarakat secara umum. Bagi pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dari proses pelayanan publik akan tercapai, sedangkan bagi masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan sehingga menjadi lebih cepat, lebih transparan, dan lebih adil akan dapat mereka rasakan. Kepuasan kedua pihak ini pada akhirnya akan menciptakan suasana kota yang kondusif, dimana antara pemerintah dan masyarakat akan saling membantu dan mendukung demi terwujudnya kota yang adil, makmur dan sejahtera.

Sejak memiliki kepemimpinan baru, tanggal 26 Januari lalu, komitmen Walikota Depok untuk menegakkan disiplin dan menghapus budaya KKN secara bertahap sudah mulai bergulir, meskipun belum dapat dirasakan dampaknya saat ini, namun komitmen penuh tersebut Insya Allah akan dapat dirasakan hasilnya dalam waktu-waktu mendatang. Tekad dan komitmen ini, apabila didukung dengan sarana dan prasarana, serta dukungan dari berbagai pihak yang memadai, maka akan dapat mewujudkan harapan dan keinginan seluruh warga Depok akan terciptanya kota yang bersih, ramah dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Depok. Semoga.


Dr. Prihandoko, MIT
Sekretaris Program Doktor Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma, Depok