Draft Kebijakan Penanganan Permukiman Kumuh yang tengah dirancang oleh Kementerian Perumahan Rakyat, telah merumuskan dua definisi dari lingkungan kumuh (slum settlements). Pertama, lingkungan kumuh adalah suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk (deteriorated) baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak memungkinkan dicapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung membahayakan bagi penghuninya.
Kedua, lingkungan kumuh yaitu lingkungan permukiman dengan tingkat hunian dan kepadatan bangunan yang sangat tinggi, kualitas rumah yang sangat rendah serta tidak memadainya prasarana dan sarana dasar seperti air minum, jalan, air limbah, sampah dan drainase serta tingkat pendidikan dan pendapatan penghuninya yang sangat rendah, tingkat privasi keluarga yang rendah serta beragamnya norma sosial budaya yang dianut.
Berdasarkan definisi kedua di atas, nampak tantangan ke depan untuk menyelesaikan masalah ini sangat kompleks. Pertama, problem kepadatan bangunan. Problem kepadatan bangunan ini sangat terkait dengan masalah perencanaan tata ruang wilayah. Sebuah perencanaan yang baik harus memperhatikan proporsi pemanfaatan lahan. Seberapa luas yang akan dimanfaatkan untuk bangunan dan berapa luas tetap dipertahankan berupa lahan kosong. Idealnya, untuk setiap lahan, hanya 30% saja yang diperuntukkan bagi bangunan, sedangkan yang 70% harus tetap berupa lahan kosong. Namun, kenyataan yang ada sekarang sangat jauh dari ukuran ideal tersebut. Jika komposisi ini tidak segera diperbaiki secara bertahap, maka kita tinggal menunggu waktu untuk sebuah kehancuran lingkungan yang lebih besar di masa yang akan datang.
Problem kedua menyangkut kualitas rumah yang sangat rendah. Rumah mempunyai peran sangat strategis dalam pembentukan karakter suatu bangsa. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, pusat pembinaan karakter dan kepribadian manusia, dan pusat penyiapan generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, kelayakan rumah sebagai suatu tempat hunian harus dibarengi dengan kelayakan sebagai pembentuk karakter manusia. Semua pihak harus mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap masalah ini. Betapa masih banyak saudara-saudara kita yang menempati rumah yang sangat tidak layak, bahkan mungkin tidak manusiawi. Tidak sedikit kita temukan satu bangunan tempat tinggal dengan ukuran 15 meter persegi dihuni oleh 2-4 keluarga di dalamnya. Ini problem besar dan mendasar. Problem ini tidak dapat diatasi kecuali turun tangannya berbagai lembaga dan instansi besar ke desa-desan dan lokasi-lokasi permukinan kumuh untuk menyelesaikan, baik lembaga pemerintahan, swasta, eknomoi, sosial, dan lain sebagainya.
Problem ketiga menyangkut prasarana dan sarana dasar, seperti air minum, jalan, air limbah, sampah dan drainase. Problem ini domainnya pemerintah. Inisiatif harus datang dari pimpinan pemerintahan. Ia kemudian yang akan menggerakkan aparatnya untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah ini. Pelibatan masyarakat dan swasta perlu didorong lebih intensif. Jika belum semua dapat sarana dan prasarana tersebut dapat diselesaikan, karena keterbatasan anggaran, maka perlu dibuatkan skala prioritas. Pekerjaan mana yang didahulukan, dan mana yang harus diakhirkan. Masyarakat juga perlu dimotivasi dan dirangsang agar ikut serta memikirkan dan membangun berbagai sarana umum ini, agar mereka mempunyai sense of belonging, sehingga akan mudah tergerak untuk ikut serta dalam memelihara dan merawatnya.
Problem keempat menyangkut kualitas sumber daya manusia. Lingkungan kumuh dan rumah kumuh akan terus ada dan tidak akan pernah dapat dihapuskan tanpa kita secara bertahap membangun mental berjuang para warga penghuninya untuk keluar dari kondisi yang menyengsarakan ini. Perbaikan fisik rumah dan lingkungan tanpa membangun mental penghuninya tidak akan secara permanen mengentaskan kehidupan mereka. Oleh karena itu, pembinaan mental dan peningkatan kualitas pendidikan mereka harus menjadi program utama. Untuk urusan ini, pemerintah daerah dapat melibatkan LSM-LSM yang ada yang biasa berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat untuk ikut terlibat.
Sebagai sebuah kota yang padat dengan sekitar 1,4 juta orang penduduk, Depok memiliki jumlah kepala keluarga pra sejahtera sebanyak 29.433 kepala keluarga dan jumlah rumah tidak layak huni sebesar 2.885 buah. Sebuah angka yang tidak kecil. Memperhatikan berbagai problem dan dampak yang dapat terjadi, kita perlu menyelesaikan problem rumah tidak layak huni ini segera. Jika kita mentargetkan Depok bebas lingkungan kumuh pada 2015, maka masih ada waktu 6 tahun lagi. Jika jumlah rumah kumuh dibagi dengan 6 tahun, maka setiap tahun kita musti menyelesaikan 481 rumah kumuh. Ini sebuah angka yang masih ada dalam jangkauan kita, asalkan pola-pola kerjasama, berikut keterlibatan berbagai pihak dalam proses ini dapat dibangun dengan baik dan efektif. Minimal empat poin penting yang kami utarakan di atas dapat menjadi panduan awal dalam mengentaskan kemiskinan melalui perbaikan rumah dan lingkungan kumuh di sekitar kita, menuju Depok bebas lingkungan kumuh 2015. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar