17 Sep 2009

Keropos Peradaban


KEROPOS PERADABAN (1)

Variabel destruktif tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Pohon-pohon di kebun mati bukan saja karena serangan belalang dan parasit, tetapi karena ada proses pembusukan di akar dan di batang. Bangsa-bangsa hancur bukan saja karena agresi militer asing, tetapi juga karena kudeta dan kerusuhan di dalam negeri. Napoleon dan Hitler kalah perang bukan saja karena gagal menaklukkan Rusia secara militer dan beratnya rintangan alam di sana, tetapi juga karena visi, misi, strategi, pendekatan, dan metode ekspansi yang tidak benar. Kita Indonesia tertinggal jauh di belakang dari bangsa-bangsa di dunia bukan saja karena konspirasi dan tekanan asing, tetapi karena kita tidak sungguh-sungguh bertekad untuk maju. Kita tidak cukup becus mengurus negara besar ini. Dalam diskusi tentang PIB ini, variabel destruktif eksternal disebut hama, dan variabel destruktif internal disebut keropos. Kali ini kita akan membahas keropos peradaban pada dimensi infrastruktur peradaban di kolom kolektif. Saya seperti yang sudah-sudah lebih suka menyebutnya kolom fardu kifayah.

Secara umum dapat dikatakan bahwa keropos peradaban pada dimensi ini mengambil bentuk berupa: kelemahan dalam sistem nilai dan ideologi, kegagalan dalam menegakkan keadilan, sistem suksesi yang berdarah-darah, kelalaian dalam membangun sikap pembelajar, kegagalan dalam mengakumulasi sumberdaya bagi pembangunan infrastruktur ilmu dan pendidikan, kelemahan tekad dalam menjaga karya-karya intelektual, dan sikap tinggi hati yang keterlaluan.

RENTANG KEDAULATAN.

The sun has never set in British empire. Hahaha, saya selalu tidak bisa menahan tawa membaca-mendengar ungkapan ini. Sekalipun ini ada benarnya, kita semua tahu bahwa kekuasaan Imperium Inggris itu labil dan tidak berlangsung lama. Mereka tidak pernah bisa tenang walau sebentar saja di kursi mereka. Segera saja kekuasaan itu tergerogoti oleh gelombang revolusi dan nasionalisasi abad 19 dan 20. Tak ada satu bangsa pun yang mau bersemayam terlalu lama di ketiak bangsa lain (abis bau sih). Selalu saja ada gelombang perlawanan dan revolusi untuk menegakkan harga diri bangsa. Kemerdekaan dan harga diri merupakan fitrah manusiawi yang mengalir bersama darah, bersemayam di sumsum tulang, dan hadir bersama napas. Orang-orang Inggris itu salah dalam menentukan pilar bagi kekaisaran mereka. Jangan gantungkan itu pada status kebangsaan, etnis, ataupun ras. Kalau saja mereka memiliki ideologi dan sistem nilai yang terbuka sangat mungkin matahari kekaisaran mereka secara geografis riil masih tetap bersinar sampai hari ini.

Ketika sebuah bangsa memperluas wilayahnya mencakup bangsa lain, maka bangsa itu harus menarik bangsa taklukannya itu ke dalam dirinya, menjadi bagian utuh darinya, dan lebur menjadi satu bangsa yang baru. Hal ini hanya mungkin jika sebuah bangsa menganut ideologi yang bersipat terbuka dimana ikatan moral dan nilai-nilai adalah warna utamanya. Dimana keutamaan dan prestige disandangkan kepada siapa saja yang memiliki moralitas yang tinggi. Dimana prinsip egaliter, persaudaraan, dan solidaritas menjadi ruhnya. Proses penaklukan dan proses penanaman ideologi itu harus berlangsung dengan suasana yang relatif sangat damai dan bersipat sukarela. Daya tarik ideologis dan bukan daya tarik ekonomi yang membuat dua bangsa yang berbeda mampu bekerja sama dengan erat, bersahabat dekat, dan bahkan meleburkan diri.

Bangsa yang membangun kedaulatannya berdasarkan landasan ideologis dan sistem nilai yang terbuka terbukti lebih mudah melakukan ekspansi, lebih mudah mempertahankan rentang kedaulatannya yang luas itu, dan yang menakjubkan semua itu cenderung berlangsung dengan damai. Inggris dan nenek moyang mereka Romawi pada sisi ‘antagonis’, dan Islam pada sisi ‘protagonis’ memberi kita rumus ini. Sekali lagi, tak ada satu pun bangsa yang mau bersemayam terlalu lama di ketiak bangsa lain. Selalu saja ada gelombang perlawanan dan revolusi untuk menegakkan harga diri bangsa. Kemerdekaan dan harga diri merupakan fitrah manusiawi yang mengalir bersama darah, bersemayam di sumsum tulang, dan hadir bersama napas. Bagi Inggris, jangankan bangsa lain, saudara mereka satu bangsa pun, Amerika, berjuang untuk kedaulatan mandiri. Majapahit telah lebih dulu memberi pelajaran tentang hal ini. Suku-suku yang banyak tersebar di nusantara berusaha membantah dengan senjata dan darah mitos superioritas suku Jawa seperti yang sering dibangga-banggakan oleh Gajah Mada. Kelancangan cara berpikir yang menyebabkan perang Bubat. Ini pula yang menyebabkan Mataram Islam gagal menyamai Majapahit karena unsur superioritas kejawaan mereka masih sangat kental (di samping karena VOC dan perpecahan internal). Sementara Indonesia terbantu untuk bersatu karena Islam yang bersipat terbuka, dan secara malu-malu saya katakan, juga karena ada Pancasila. Setiap bangsa mesti memikirkan secara serius kata-kata Muhammad bahwa orang Arab tidak lebih mulia dari orang ajam, yang berkulit putih tidak lebih baik dari yang berkulit hitam.

Di sisi lain, banyak bangsa gagal bertahan di panggung utama sejarah karena mereka tidak sungguh-sungguh membangun dan menegakkan keadilan. Ketika kezaliman dan penindasan antar komponen bangsa merajalela maka semangat pemberontakan pun berkobar-kobar. Amerika tidak tahan diperas oleh Inggris sehingga menuntut merdeka. Tak peduli lagi bahwa mereka satu bangsa dan satu tanah air awalnya. Mereka berusaha keras menjauh dari nenek moyang mereka itu secara nyata di segala bidang sehingga dalam segi bahasa saja kita mengenal ejaan dan eksen Amerika yang berbeda dengan ejaan dan eksen Inggris.

Ambisi kekuasaan kerap bagaikan api yang berkobar-kobar. Salah-salah itu akan menerjang dan menghancurkan segala yang ada. Untuk mempertahankan rentang kedaulatannya yang luas, suatu bangsa mesti memiliki sistem yang menjamin proses suksesi kepemimpinan negara berlangsung secara damai. Budaya cinta damai ini tentu hanya lahir ketika prinsip solidaritas, empati, dan prioritas kebangsaan telah menghujam dalam di hati setiap warganya, dan secara apik diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sistem suksesi itu harus menjamin kesamaan hak bagi semua orang untuk menjadi pemimpin dan menjamin hanya mereka yang memiliki kapasitas dan kualitas terbaik saja yang akan bisa duduk di kursi kekuasaan. Bahwa kekuasaan yang ada pun bisa dikoreksi setiap saat melalui mekanisme yang legal dan damai. Tanpa ini, nasib bangsa itu akan sama dengan tercabik-cabiknya Persia kuno, Mataram Islam dan seperti juga terbelahnya banyak bangsa-bangsa lainnya.


KREATIFITAS DAN DAYA REKA CIPTA.

Kreatifitas dan daya reka cipta selain ditopang oleh bakat alami build-in, juga ditunjang oleh sikap pembelajar yang ditanamkan lewat pembiasaan dan budaya, dan oleh daya dukung pengetahuan dan pendidikan. Semua variabel itu bersipat berbanding lurus. Sebagaimana masyarakat terbentuk dari individu-individu, maka ketika sebuah masyarakat akan membangun peradaban tinggi-agung, masyarakat itu harus membiasakan dan membudayakan sikap pembelajar, serta membangun infrastruktur ilmu dan pendidikan yang maju. Keropos terjadi ketika masyarakat itu tidak mengalokasikan cukup sumberdaya untuk membangun semua variabel-variabel ini.

Keropos juga terjadi ketika sebuah masyarakat tidak menyediakan cukup kesempatan bagi tumbuh kembang bakat kreatif-rasa penasaran-keingintahuan; dan ruang untuk menampilkan karya-karya kreatifitas-daya reka cipta. Secara eksplisit saya ingin mengatakan bahwa harus selalu ada pameran sains-tehnologi dan pertunjukan seni. Semua media, ruang, dan kesempatan bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk sukses misi ini. Kesempatan untuk tampil ini pada akhirnya akan memicu apresiasi khalayak banyak. Sehingga akan semakin banyak orang yang terinspirasi dan termotivasi untuk memberikan-menghasilkan karya kreatif dan karya cipta yang lebih baik. Proses ini akan menjamin proses perbaikan, inovasi, penggabungan, dan penyempurnaan karya-karya seni dan tehnologi yang terus menerus.

Desakan ekonomi dan ambisi yang instan-pragmatis sering mendorong individu-individu dalam masyarakat untuk melakukan kecurangan terhadap karya seni dan karya cipta. Jika dibiarkan ini akan menjadi keropos yang berbahaya. Membiarkan kejahatan intelektual sama saja mematikan mesin besar peradaban dan membunuh masa depan bangsa yang gemilang. Setiap anak bangsa harus disiplin dalam menghargai dan mengakumulasi karya-karya intelektual. Sikap telaten dalam melakukan paten, dan menegakkan undang-undang perlindungan terhadap karya cipta menjadi syarat mutlak.


PEMIMPIN BESAR.

Setiap bangsa yang ingin meretas jalan menuju cahaya harus membangun semacam mekanisme, proses, ataupun sistem pembentukan tokoh. Sistem ketokohan ini bukan dalam rangka membentuk kultus individu, melainkan didasarkan kepada kebutuhan asasi dari bangsa-bangsa akan perlu dan pentingnya kehadiran para pemimpin besar. Pemimpin yang bukan saja menunjuki arah menuju sukses dan mengatasi segala rintangannya, tetapi juga menjadi sumber inspirasi, teladan, dan bahan bakar semangat bagi semua warga bangsa itu. Masyarakat itu harus memberikan banyak ruang-ruang terbuka dan leluasa bagi setiap orang untuk mengaktualisaikan diri dan menampilkan diri ke muka khalayak dengan penuh percaya diri. Mereka yang memimpin adalah mereka yang paling efektif memberi solusi. Kepemimpinan, bagi saya, selalu melekat kepada solusi, inspirasi, arah, pun kepada pragmatisme. Kedengkian harus dibuang jauh-jauh karena ini membunuh potensi kepemimpinan sejak dari tunas mula.

Sekalipun pendidikan sangat penting bagi kepemimpinan, pemimpin besar tidak dibatasi hanya lahir dari institusi pendidikan yang hebat saja. Maka pada sisi ini ada dua keropos yang biasa terjadi. Pertama ketika pendidikan hanya menyentuh sebagian kecil warga bangsa dan bersipat eksklusif. Kerusakan yang diakibatkan olehnya adalah kepemimpinan menjadi hak eksklusif sebagian orang saja. Karena orang-orang dibentuk oleh lingkungan, dan karenanya pula kemudian persepsi dan perspektifnya jadi terbatas, maka ini akan membuat banyak potensi dan kekuatan bangsa tidak tergali sempurna dan utuh. Eksklusifitas kesempatan pendidikan membuat banyak ruang kehidupan terabaikan dan terbengkalai. Kesempatan pendidikan yang adil dan luas membuat sistem mampu menjaring orang-orang dengan latar pendidikan yang baik, berkemampuan kepemimpinan yang tinggi, dan berasal dari berbagai latar belakang yang beragam. Semakin beragam latar belakang dari pemimpin yang tampil, semakin banyak potensi dan sudut-sudut kekuatan yang bisa dihimpun dan dicermati.

Kemungkinan kedua adalah lahirnya pemimpin besar yang melalui proses suksesi yang berdarah-darah. Ketiadaan kesempatan pendidikan yang adil akan membuat orang-orang yang memiliki bakat kepemimpinan alami, dengan kharisma yang kuat, dan pengaruh yang besar, dengan dendam sakit hati atas ketidakadilan, melesat menggerakkan revolusi menggugat kemapanan, melakukan perlawanan keras,  dan mengusung ideologi alternatif. Sayangnya, biasanya semua itu berlangsung dengan berdarah-darah. Tidak sedikit bangsa yang terbelah-belah karena ada episode ini dalam sejarahnya.



ADAPTASI DAN AKULTURASI.

Masa keemasan imperium Majapahit berumur pendek hanya sepanjang umur Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Kesalahan utama kedua orang besar itu adalah mereka tidak berupaya menarik kerajaan-kerajaan taklukan mereka ke dalam sistem dan budaya jawa. Mereka justru membangunnya atas dasar ashobiyah dan superioritas kejawaan. Nilai-nilai kejawaan sekalipun menarik justru tidak diperkenalkan kepada suku-suku yang lain. Lubang yang sama diulangi oleh Mataram Islam. Ini membuat Cirebon dan Banten yang juga Islam “menarik diri”. Ketinggian dan inklusifitas Islam jadi redup karenanya. Arab Islam memberi pengaruh kepada dunia selain karena kuatnya landasan ideologinya, juga karena sikap inklusif Islam yang dijalankan secara konsisten. Arab Islam banyak menyerap pelajaran dari Yunani kuno, Romawi kuno, Cina, Mesir kuno, pun bahkan Persia kuno dan India. Adaptasi dan akulturasi justru membuat peradaban Arab Islam jadi sangat berwarna, dan (dengan bangga kita katakan) menjadi peradaban paling langgeng.

Barat berhasil menggapai puncak peradaban di era modern ini setelah belajar dari Arab Islam dan menggali kembali khasanah Romawi kuno. Jalan yang mereka terus telusuri setelah direntas oleh Arab Islam awalnya. Kini Barat memiliki ciri dan prestasi peradabannya sendiri. Kita pun menikmati hasil kerja mereka. Mereka tak urung mempengaruhi banyak sendi-sendi kehidupan kita. Kalau saja Barat konsisten dengan nilai-nilai HAM dan demokrasi misalnya, lalu menjaga integritas mereka tetap tinggi, tetap kukuh kepada prinsip keadilan dan kasih sayang, bukan tidak mungkin mereka akan lebih banyak menarik simpati dan cinta banyak pihak di dunia kotemporer ini. Pertentangan dan permusuhan bisa banyak direduksi. Barat mesti berupaya sungguh-sungguh menghapus stigma superioritas ras mereka atas atas bangsa-bangsa. Barat mesti lepas dari ashiboyah dan superioritas ras ini, jangan melakukan seperti apa yang ditunjukkan oleh Yahudi dan juga Hitler, dan terbukti gagal. Yahudi dan juga Hitler malah menuai benci di mana-mana. Ketika Barat bisa keluar dari semua jebakan itu, bukan tidak mungkin umur peradaban mereka akan lebih bertahan dan bertambah panjang.

Wali Songo berhasil mengislamkan tanah jawa karena meleburkan Islam ke dalam sistem dan budaya masyarakat pulau jawa. Sunan Kalijaga lah yang paling dikenang dalam urusan adaptasi dan akulturasi ini. Walaupun tidak bisa jadi teladan utuh, kita bisa banyak belajar dari Beliau ini.

Jadi, keropos yang menghancurkan proses adaptasi dan akulturasi budaya adalah sikap tinggi hati suatu bangsa. Suatu bangsa jika ingin menjadi pemilik peradaban baru harus rendah hati mengakui sisi-sisi lemah dirinya, belajar dari bangsa lain, menyerap kekuatan bangsa-bangsa besar di dunia, beradaptasi dan melakukan akulturasi, membangun ciri khas, dan kemudian menarik bangsa-bangsa lain ke dalam sistem dan budaya mereka secara utuh,  sambil terus menerus beradaptasi dan berakulturasi. Begitulah, adaptasi, akulturasi, dan sikap inklusif adalah proses yang tanpa titik. Menyerap kekuatan dari luar dan pada saat yang sama memberi pengaruh keluar untuk kemudian meleburkan semua bangsa-bangsa ke dalam dirinya. Ideologi dan nilai-nilailah yang menjadi landasannya.

Sikap inklusif, kemampuan beradaptasi dan melakukan akulturasi positif akan menjadi bekal yang berharga buat generasi-generasi yang panjang itu dalam upaya mereka sukses membangun peradaban Islam baru. Aih senangnya hati kita bisa menyiapkan semua bekal itu.

Wallahu a’lam
asep setiawan