2 Sep 2009

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali
--------------------------------

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah
kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana
semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku
mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera
menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di
depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak
mendengar siapa pun mengaku, jadi beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian
berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu
tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami
dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di
masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu
pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air
mata
setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba
mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis
lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah
lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku
tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat
yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas
propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap
rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu
baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya
yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana
mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah
lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan
tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau
mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya
akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu
kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku
bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya,
telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian
lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia
menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik
kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan
menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada
punggungnya di
lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di
universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk
dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan
keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya
kotor
tertutup debu semen dan pasir.
Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku.
Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat
dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun!
Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku
bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus
menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak
dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke
dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia
berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela
yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana
mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di
depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu
banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi
katanya, sambil tersenyum "Itu adalah adikmu yang pulang
awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat
luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca
jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya
yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut
lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak,
tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu.
Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke
wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak sekali
keluarga suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk
datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan
tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga
ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran
tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan
masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan
pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini.
Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu
tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya
menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan
dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara
perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah
yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi
sekolah SD, ia
berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan
saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari
sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami
tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca
yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya
masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik
kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam
hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah
adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,
di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku
seperti sungai.


Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

Tidak ada komentar: