25 Mar 2009

PKS Mosaik Pluralitas Muslim Kota (Artikel KOMPAS)

Partai Keadilan Sejahtera
Mosaik Pluralitas Muslim Perkotaan

Selasa, 24 Maret 2009

Partai Keadilan Sejahtera mencerminkan sebuah kekuatan
baru yang mencirikan pluralitas Islam perkotaan. Ia menjadi mosaik yang
menghubungkan patahan-patahan dikotomis antara Islam tradisional dan
modern, antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Karakteristik baru
dari wajah politik aliran. BAMBANG SETIAWAN

Citra yang melekat pada diri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai
perwujudan dari kekuatan partai Islam pluralis juga tecermin dalam
hasil survei nasional yang dilakukan Litbang Kompas 20 Februari-3 Maret
2009. Terbanyak (49,3 persen) dari calon pemilih PKS dalam Pemilu 2009
adalah penganut agama Islam yang tidak terikat dalam salah satu aliran
besar (NU atau Muhammadiyah). Baik pemilih dengan latar belakang agama
Islam beraliran NU maupun Muhammadiyah memang menyumbang cukup besar
pada kekuatan PKS, tetapi terbanyak adalah pribadi-pribadi yang tidak
memiliki ikatan emosional dengan kedua aliran tersebut.

Tampaknya, corak ideologis yang dibangun lewat jaringan dakwah di kampus-kampus
telah membekaskan sebuah ciri kepartaian Islam yang berbeda dengan
tradisi dua aliran besar sebelumnya. Tumbuhnya kekuatan baru ini dapat
ditelusuri dari sejarah pembentukan PKS.Partai Keadilan
Sejahtera merupakan partai berasaskan Islam yang pendiriannya terkait
dengan pertumbuhan aktivitas dakwah Islam semenjak awal tahun delapan
puluhan. Awal dekade itu, gerakan-gerakan keislaman yang mengambil
masjid-masjid sebagai basis operasional dan strukturalnya, terutama
masjid kampus, mulai bersemi. Gerakan dakwah ini merebak dari tahun ke
tahun mewarnai suasana keislaman di kampus-kampus dan masyarakat umum,
bahkan menjalar pula ke kalangan pelajar dan mahasiswa di luar negeri,
baik Eropa, Amerika, maupun Timur Tengah. Gejolaknya muncul dalam
bentuk pemikiran keislaman dalam berbagai bidang dan juga
praktik-praktik pengamalan sehari-hari. Persaudaraan (ukhuwah) yang
dibangun di antara mereka menjadi sebuah alternatif cara hidup di
tengah-tengah masyarakat perkotaan yang cenderung semakin
individualistik (Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, 2004).

Gerakan dakwah ini semakin membesar dan mengental. Jaringan mereka pun semakin
meluas. Mereka juga berupaya membangun ruh keislaman melalui media
tablig, seminar, aktivitas sosial, ekonomi, dan juga pendidikan
meskipun saat itu berada dalam bayang-bayang kekuasaan Orde Baru yang
demikian ketat mengawasi aktivitas keagamaan.

Lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 membuka iklim kebebasan yang makin luas.
Musyawarah kemudian dilakukan oleh para aktivis dakwah Islam, yang
melahirkan kesimpulan perlunya iklim yang berkembang untuk dimanfaatkan
semaksimal mungkin bagi upaya peraihan cita-cita mereka. Pendirian
partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam perlu dilakukan guna
mencapai tujuan dakwah Islam dengan cara-cara demokratis yang bisa
diterima banyak orang.

Sebelumnya, mereka melakukan sebuah survei yang melingkupi cakupan luas dari para aktivis dakwah, terutama yang tersebar di masjid-masjid kampus di Indonesia, untuk melihat respons umum dari kondisi politik yang berkembang di Indonesia.

Hasil survei menyimpulkan, saat inilah waktu yang tepat untuk
meneguhkan aktivitas dakwah dalam bentuk kepartaian. Survei ini dinilai
mencerminkan tumbuhnya kesamaan sikap di kalangan sebagian besar
aktivis dakwah.Partai Keadilan (PK) pun kemudian secara resmi
didirikan pada 20 Juli 1998. Islam menjadi asas dari partai baru ini.
Tercatat lebih dari 50 pendiri partai ini, di antaranya adalah Hidayat
Nur Wahid, Luthfi Hasan Ishaaq, Salim Segaf Aljufri, dan Nur Mahmudi
Ismail. Nur Mahmudi Ismail kemudian menjadi Presiden Partai Keadilan,
sedangkan Hidayat Nur Wahid duduk sebagai Ketua Majelis Pertimbangan
Partai. Kemudian, partai ini deklarasikan tanggal 9 Agustus 1998 di
Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta.

PKS bisa dikatakan merupakan partai kader yang mampu memproduksi pengikut dengan cepat. Pengikutnya dalam waktu singkat tumbuh berkali lipat. Dari partai kecil
yang tidak lolos ambang batas perolehan suara, PKS menjadi partai papan
menengah di pemilu berikutnya.

Pada Pemilu 1999, Partai Keadilan yang menjadi cikal bakal PKS memperoleh 1.436.565 suara atau 1,36 persen. Dengan hasil itu, Partai Keadilan menduduki peringkat ke tujuh
di antara 48 partai politik peserta Pemilu 1999. Bahkan, di DKI
Jakarta, Partai Keadilan berhasil menduduki peringkat ke lima. Ia
berhasil menduduki 7 kursi DPR, 21 kursi DPRD Tingkat I, dan sekitar
160 DPRD Tingkat II. Sayangnya, dengan hasil ini Partai Keadilan tidak
lolos ambang batas perolehan suara untuk bertahan di pemilu berikutnya.

Partai Keadilan pun kemudian mendirikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada
20 April 2002, sebuah partai baru yang akan menjadi wadah bagi
kelanjutan kiprah politik dakwah warga Partai Keadilan. Setelah resmi
berbadan hukum pada 17 Juli 2003, PKS dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid.Dalam
waktu lima tahun, pamornya naik, menduduki peringkat enam dalam
perolehan suara nasional dengan jumlah suara 7,34 persen. Kursi DPR
yang diraihnya pun meningkat lebih dari enam kali lipat, menjadi 45.
Bahkan, di DKI Jakarta ia mampu menjadi partai pemenang, mengalahkan
partai-partai besar lainnya.

Akademisi dan perkotaan
Ciri sebagai partai kaum akademisi sangat kuat tecermin dalam daftar calon
anggota legislatif PKS. Jika dibandingkan dengan akademisi yang
berjumlah 6,3 persen dari total seluruh caleg DPR, yang disodorkan oleh
PKS terasa melampaui rata-rata. Calon akademisi yang diusung PKS untuk
menjadi anggota DPR berkisar 20,8 persen, menjadi ciri utama paling
menonjol dari daftar caleg yang diajukan semua partai.

Tampaknya PKS memang mencoba mendekatkan struktur latar belakang calegnya dengan
komposisi pendidikan pemilihnya. Hasil survei Litbang Kompas
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pemilih untuk sejumlah partai
Islam dengan basis massa tradisional, pemilih PKS cenderung lebih
banyak berasal dari kalangan berpendidikan menengah ke atas
(SLTA-perguruan tinggi).

Karakteristik sebagai partai Islam dengan basis perkotaan juga tampak lekat dengan PKS. Dalam Pemilu 2004, PKS menang di DKI Jakarta serta di tiga kabupaten dan sembilan kota.
Meskipun delapan dari 12 kabupaten/kota yang menjadi basisnya di pemilu
sebelumnya berhasil direbut oleh partai lain dalam pilkada,
kemenangannya dalam seluruh pilkada cukup menonjol. Dari 459 pilkada
kabupaten/kota yang telah digelar sepanjang 2005-2009, PKS mampu
memenangkan 76 calon yang diusungnya untuk duduk sebagai kepala daerah.
Empat di antaranya dimenangkan sebagai pengusung tunggal, yaitu pilkada
Bekasi, Kota Depok, Bangka Barat, dan Kota Pariaman.

Total kemenangan koalisi PKS di level pilkada gubernur meliputi tujuh provinsi. Selain
koalisinya dengan PAN yang mampu mengalahkan dua calon kuat lainnya di
dalam pilkada Jawa Barat, kemenangannya di beberapa wilayah Pulau
Sumatera (Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Bengkulu, Kepulauan Riau)
menambah kuatnya penetrasi PKS di jazirah Sumatera. Kemenangan
koalisinya di Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara juga menambah
kekuatan PKS di Indonesia bagian timur.

Ciri sebagai partai kota bisa dilihat dari perbandingan wilayah yang
dimenangkannya dalam pilkada. Jika dibandingkan dengan wilayah berbasis
kabupaten, kota lebih menjadi kekuatan bagi partai ini. Rata-rata
kemenangan tunggal yang diraihnya sejumlah 0,9 persen dari keseluruhan
pilkada. Namun, ia berhasil mengambil 2,1 persen dari total pilkada di
wilayah kota. Sebaliknya, di wilayah kabupaten ia hanya berhasil meraih
0,5 persen dari total pilkada kabupaten.

Komposisi kemenangan dalam pilkada yang lebih banyak di kota tampaknya juga mirip dengan
pola yang diraihnya dalam pemilu. Dalam Pemilu 2004, dari total 440
kabupaten/kota, PKS meraih 2,7 persennya. Di level kabupaten, dari 349
kabupaten yang ada, PKS hanya meraih 0,9 persennya. Sebaliknya, dari 91
kota, ia meraih 9,9 persennya.

Dilihat dari cakupan yang lebih luas, wilayah Jawa merupakan basis utama PKS, seperti tecermin dari Pemilu 2004. Enam dari 12 kemenangan di raih di kabupaten/kota di Jawa,
sisanya Sumatera, Kalimantan, dan Maluku Utara. Di Pulau Jawa,
konsentrasi basis massanya terletak di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di
DKI Jakarta, PKS menang di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta
Pusat, bersaing cukup ketat dengan Partai Demokrat yang menguasai
Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

Dengan kemampuannya menempatkan diri sebagai partai yang mewadahi pluralitas Muslim perkotaan dan menjalin kekuatan dengan dunia akademisi yang sebelumnya cenderung
cair, bukan tidak mungkin partai kader ini akan menjadi partai basis
yang cukup kokoh.(BAMBANG SETIAWAN/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: