21 Nov 2009

Persoalan Utama Kaum Muslim: Bukanlah Akhlak Yang Rusak

Persoalan Utama Kaum Muslim: Bukanlah Akhlak Yang Rusak


Bantahan atas pendapat yang menyatakan, bahwa kebangkitan umat, atau persoalan mendasar umat adalah kebangkitan akhlaknya dapat diperinci sebagai berikut;

Pertama, sebenarnya, konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan masyarakat dari sisi karakter, maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat atau umat. Akhlak adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlak adalah salah satu variable penting untuk membangkitkan individu.

Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat, serta cara untuk mengubah masyarakat. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, maka kita mesti memahami terlebih dahulu unsure-unsur penyusun individu dan bagaimana cara membangkitkannya.

Masyarakat sendiri tersusun atas manusia , pemikiran, perasaan dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.

Benar, manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menyebabkan perubahan masyarakat, maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka. Namun ia juga tersusun oleh pemikiran, perasaan dan aturan. Selain itu faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat bukanlah manusia, akan tetapi pemikiran dan aturan yang diterapkan.

Masyarakat Budha terkenal orang yang menjunjung nilai-nilai akhlak, bahkan terkenal memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia. Namun demikian, warna masyarakat yang tersusun oleh orang-orang Budha dan agama Budha adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Seandainya, akhlak adalah penentu warna masyarakat, tentunya masyarakat Budha akan bangkit menjadi masyarakat Islam. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap tidak beranjak menjadi masyarakat Islam, meskipun setiap individunya memiliki sifat-sifat akhlak yang bernilai universal. Ini menunjukkan, bahwa faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan akhlak individunya.

Fakta lain juga menunjukkan, bahwa negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Islam juga terkenal memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia, misalnya, jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap disebut masyarakat kufur, jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri tersebut adalah sistem aturan kufur. Contoh yang paling mudah adalah negeri Baghdad. Negeri Baghdad ketika dikuasai bangsa Mongol, tidak lagi disebut negeri Islam, sebab, sistem yang diberlakukan di Baghdad bukan sistem Islam. Meskipun penduduknya kaum muslim dan memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia, akan tetapi masyarakat mereka telah berubah menjadi masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan masyarakat tidak ditentukan oleh sifat akhlak universal yang dimiliki oleh individu-individu masyarakatnya, akan tetapi ditentukan oleh aturan dan pemikiran yang diterapkan di dalamnya. Walhasil, perubahan akhlak individu tidak secara otomatis merubah warna masyarakat. Bahkan, perubahan akhlak –sebagai nilai-nilai universal-- sama sekali tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.

Masyarakat Jahiliyah sebelum Islam, juga terkenal memiliki dan menjunjung nilai-nilai akhlak yang tinggi –menghargai tamu, perwira dan sebagainya. Namun demikian, sifat-sifat akhlakiyyah ini tidak berubah ketika masyarakat Jahiliyyah berubah menjadi masyarakat Islam. Kenyataan ini juga menunjukkan Ini bahwa sifat-sifat akhlak bukanlah factor yang menentukan perubahan masyarakat, bahkan tidak berhubungan sama sekali.

Walhasil, jika konteks pembicaraan kita adalah mengubah warna atau corak masyarakat, maka aktivitas perubahannya tidak boleh difokuskan hanya kepada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan kepada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam tentang perubahan individu, kita pun akan menyimpulkan bahwa perubahan individu juga tidak ditentukan oleh akhlaknya, akan tetapi ditentukan oleh pemikiran dan aturan yang diadopsinya. Orang Budha tetap disebut sebagai orang kafir, meskipun meskipun memiliki sifat akhlak universal. Kita tidak mungkin menyatakan bahwa orang Budha adalah muslim. Orang Budha tersebut akan berubah menjadi seorang muslim tatkala pemikiran (aqidah) dan aturan yang diadopsinya adalah aturan Islam.

Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlak –sebagai nilai universal-- bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlak. Namun, anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai Bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa melekat pada pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekal. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlak. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram.

Dedikasi yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat kepada pasukan-pasukan perang yang menjadi pembela sistem kufur. Tetapi, kita tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlak yang menempel pada sistem kufur semacam ini, tidak memiliki arti sedikitpun.

Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlak, hanyalah sekedar bagian dari aturan-aturan Allah swt yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlak sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna masyarakat.

Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlak, atau menganggap bahwa akhlak bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam [68]: 4 dan al-Syu’araa’ [26]: 137. Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syari’at. Mereka tidak pernah mengkaji akhlak dalam bab fiqh tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlak adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Ketiga. Seandainya kita bandingkan dengan bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, kita bisa menyimpulkan bahwa, akhlak yang dimiliki oleh kaum muslim lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum muslim tetap saja dalam posisi kemunduran. Mereka tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa yang akhlaknya lebih rendah dibandingkan mereka.

Keempat. Fakta juga telah menunjukkan, bahwa propaganda-propaganda, seruan-seruan, maupun buku-buku, selebaran, poster, dan lain-lain yang menyerukan kepada akhlak sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum kaum muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik dan hukum. Ini membuktikan bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar dari perubahan. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum muslim.

Seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipahami, bahwa kami meremehkan akhlak, atau tidak menganggap penting masalah akhlak. Namun, kami hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlak bukanlah persoalan utama kaum muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat.

Adapun ayat al-Qur'an yang menyatakan, “

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti.” ( Qs. Al-Qalam [68]: 4), serta nash-nash yang senada pengertiannya, semisal hadits,

“Sesungguhnya aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”, tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlak, atau dipahami bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw adalah perubahan akhlak.

Mufasir-mufasir terkenal, seperti Mujahid, Dlahak, Imam Thabari dan Qurthubiy, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khulq” pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekedar “akhlak”, akan tetapi bermakna “diin[i]” (agama). Di dalam shahih Bukhari telah diriwayatkan bahwa ‘Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Ia menyatakan, “[i]Akhlak beliau saw adalah al-Quran.” (lihat pada catatan kaki, ‘Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasir, juz III, hal.465).

Ini menunjukkan, bahwa al-Quran merupakan pembentuk akhlak Rasulullah saw dan kaum muslim. Akhlak Islam hanya akan terbentuk dengan panduan al-Quran al-Karim.

Tidak ada gunanya mengklaim dirinya berakhlak sementara itu, mereka berkecimpung dan turut aktif di dalam sistem kufur, atau malah masuk ke dalam parlemen untuk membuat aturan-aturan kufur.

Riwayat-riwayat sharih juga menuturkan bahwa fokus utama dakwah Rasulullah saw adalah mengubah sistem kemasyarakatan jahiliyyah, kemudian diganti dengan sistem Islam. Dengan kata lain, beliau senantiasa memfokuskan dirinya untuk merubah pemikiran yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Fakta perubahan masyarakat di jaman Rasulullah saw dan juga fakta perubahan masyarakat yang ada di dunia ini, menunjukkan bahwa masyarakat hanya akan berubah jika pemikiran mereka telah berubah.

Demikianlah anda telah kami jelaskan dengan gamblang bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar bagi kebangkitan umat, dan ia juga bukan masalah utama kaum muslim.(Syamsuddin Ramadhan) 

1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.